SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di
Negara-Negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf
adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu
disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan
penuh kasih sayang.
Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis,
dan cendikiawan Indonesia, bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi
tersebarnya Islam secara luas. Secara historis, tasawuf telah mengalami
perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga perkembangannya
sekarang.
B. Rumusan Masalah
Makalah
ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana tasawuf dan Islamisasi di Indonesia?
2.
Bagaimana reformasi tasawuf di Indonesia ?
3.
Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui tasawuf
dan Islamisasi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui reformasi
tasawuf di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui para tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
Diskusi tentang
keberadaan tasawuf di Nusantara tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi.
Tidaklah berlebihan kalau di katakan bahwa tersebarnya islam di indonesia
sebagian besar adalah karena jasa kaum sufi.[1]
Hawash Abdullah
menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran
Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh Abdullah
Arif yang menyebarkan Islam untuk
pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke -12 M. Ia adalah seorang pendatang ke
Nusantara bersama banyak muballigh lainnya yang diantaranya bernama Syekh
Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawash Abdullah menegaskan bahwa kalau mau
meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertama
masuknya Islam ke Nusantara, para sufilah bukan lainnya yang paling banyak
jasanya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk islam bersedia menukar
kepercayaan dari animisme, dinanisme, budhaisme, dan hinduisme karena tertarik
kepada ajaran tasawuf.[2]
Tasawuf merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya
Islam di Indonesia unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat,
bahkan hingga saat inipun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia. Hal
ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga
melalui gerakan terekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.
Sebagaimana pendapat Hawash diatas, A.H.Johns,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara yang
melakukan penyiaran Islam di nusantara. Para sufi ini berhasil mengislamkan penduduk
nusantara setidaknya sejak abad ke 13. Faktor utama keberhasilan konversi
adalah kemajuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan aktraktif, khususnya
dengan menekankan kesesuaian dengan Islam.
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama
kali menyebar di nusantara adalah yang bercorak falsafi yakni tasawuf yang
sangat filosofi dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abi yazid
al-bustami) hulul (al-hallaj), dan wahdah al-wujud (ibn arabi) dominasi tasawuf
falsafi terlihat jelas pada khasus syekh siti jenar yang dihukum mati oleh wali
songo karena dipandang menganut paham tasawuf yang sesat.[3]
Proses islamisasi
di Indonesia strurktural telah di bentuk oleh tiga komponen yang saling
melengkapi yaitu sebagai berikut.
1. Kesultanan dengan maritimnya yang berada di sepanjang pantai
utara jawa berusaha menaklukan negeri-negeri pedalaman.
2. Kelompok ulama Islam asing mengisi pos birokrasi dan memimpin
upacara keagamaan.
3. Para sufi tertarik untuk pindah dari daerah pantai menuju
pedalaman jawa untuk menyampaikan dakwahnya.
Dengan beberapa
pertimbangan para juru dakwah cenderung melakukan sinkretisme. Menurut prof.
Dr. azyumardi azra, Islam dapat dengan cepat di terima oleh masyarakat Indonesia
salah satu nya karena adanya kesamaan bentuk antara Islam tasawuf dan
sinkretisme penduduk setempat. Menurut teori ini Islam tasawuf nyaris secara alami
di terima. Terlebih lagi ada teori yang menyatakan bahwa Islam mampu hidup
berdampingan secara damai dengan kepercayaan leluhur. Teori ini dalam batas
tertentu mungkin dapat di terima. Kesamaan itu menyebabkan perpindahan agama Islam
secara besar-besaran. Akan tetapi, dalam tahap perkembangan lebih lanjut
terjadi proses penghilangan kesamaan itu untuk menuju islam yang lebih murni.
Ajaran islam yang
di ajarkan kepada penduduk setempat di warnai dengan amalan sufi. Para sejarawan
mengemukakan bahwa ini yang membuat mereka tertarik. Dengan kata lain
perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses
Islamisasi di Indonesia dapat berlangsung dengan mudah.
Islam di Indonesia
sampai sekarang masih di liputi dengan perilaku sufistik dan kegemaran terhadap
hal-hal yang keramat. Tarekat yang munculpun beragam, tidak hanya bercorak Islam
tetapi juga bercorak sintretisme. Sementara itu melalui sejarah, kita tahu
bahwa ada sejumlah kaum reformis yang berusaha membersikan Islam dari unsur
sufistik dan magis. Beberapa dari mereka ada yang berhasil. Sehubungan dengan
itu kita melihat bahwa pada awal perkembangan Islam kecenderungan mistik lebih
kuat. Namun, setelah itu muncul pendekatan fiqh yang menggatikan ke cendrungan
mistik.[4]
B.
Reformasi Tasawuf di Indonesia
Pada permulaan
tahun 1950-an, Hamka menulis buku tasawuf:
perkembangan dan pemurniannya dan
tasawuf modern. Ia berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar adalah
tasawuf yang berakar pada prinsip tauhid.
Sejalan dengan
Hamka, Nahdatul Ulama(NU) adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk
menghindari penyimpangan dari para syaikh terdahulu. NU meletakan dasar-dasar
tasawuf bagi jamaahnya dengan sesuai dengan khitab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
NU bertasawuf
sejalan dengan prinsipnya bahwa kehidupan beragama tidak saja di tandai oleh
legalisai-rasional. Bagi NU, tasawuf merupakan hal yang penting karena sebagai
doktri kesalehan yang menyejukkan jiwa dari kekeringan iman dan kemiskinan
batin, sehingga terpelihara keseimbangan antara pandangan fiqh dan penghayatan
iman. Tasawuf bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, karena manusia
memiliki posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan alam semesta.
Manusia
diperkenankan menghendaki apa yang dimauinya, walaupun kehendak itu harus
tunduk pada kekuasaan Allah. Kebebasan untuk berkehendak membawa kesadaran
kepada manusia untuk menjunjung tinggi arti dan nilai kehidupan, karena dengan
itulah manusia mendapatkan kedudukan yang mulia. Kewajiban menjunjung tinggi
kehidupan, mengharuskan manusia memiliki arah kehidupan yang benar, yang dapat
memberikan manfaat. Arah kehidupan itu harus seimbang antara kebutuhan individu dan masyarat. Allah menentukan bahwa
manusia harus mampu hidup dengan kemampuannya untuk mengelola sumber daya yang
telah di sediakan. Oleh karena itu menurut NU, tasawuf bukan berarti
mengabaikan duniawi, melainkan harus terlibat langsung dalam aspek kehidupan.
Tasawuf yang
berkembang di Indonesia di dominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalaupun ada
penganut aliran falsafi pengaruhnya tidak begitu luas, bahkan aliran ini
mendapat perlawanan dari penikut Sunni. Oleh karena itu Hamka menulis bahwa
tasawuf di indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
C.
Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia
Beberapa tokoh tasawuf memainkan peranan penting dalam pengembangan
agama Islam di Indonesia. Berikut ini penjelasannya.
1.
Syaik Hamzah Al-Fansuri
a.
Riwayat hidup Hamzah Al-Fansuri
Nama Hamzah
Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik ke Islaman
tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh
Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsudin Sumatrani termasuk tokoh sufi yang
sepaham dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang
pujangga Islam yang sangat populer pada zamanya, dan hingga kini namanya menghiasi
lembaran-lembaran sejarah kesusatraan melayu dan Indonesia.[5]
Para pengkaji
seperti Doorenbos [1933], Al-Attas[1970], Drewes dan Brekel [1986] tak dapat
menamfik bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya
tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku, bahasa
yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa indonesia. Kecemerlangan
gaya penulisannya diakui sulit di tandingi oleh ulama pada zaman dulu dan zaman
sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi
keilmuan dan filsafat, pembaruan ke ilmuan dan filsafat, serta pembaru spritual
pada zamannya.[6]
Hamzah Al-Fansuri
lahir di sumatera utara, akhir abad XVI awal abad XVII. Tokoh ini menganut
paham wahdah al-wujud yang dicetuskan
Ibnu Arabi. Ia juga dikenal sebagai penyair pertama yang memperkenalkan syair
ke dalam sastra melayu.
Ia berasal dari
keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun temurun berdiam di Fansur
(Barus), kota pantai di sumatra utara. Ia diperkirakan telah menjadi penyair
pada masa kesultanan aceh yang diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah
Sayyid Al-Mukammal (1589-1604). Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke
Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah, dan Madinah.[7]
Karya tulis
Al-Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar peranan bahasa melayu sebagai
bahasa keempat di dunia islam setelah bahasa arab, persia, dan turki.
Karya-karya nya tersebut tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang
mengirimkan kitab-kitabnya, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera barat,
kaimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makasar, dan Ternate. Syair-syair nya, antara
lain burung pingai, syair burung pinuk, syair perahu, syair dagang.
Hamzah Fansuri
sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang
mengatkan bahwa ia pernah sampai ke seluruh menanjung dan mengembangkan tasawuf
di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan lain-lain.
b.
Ajaran tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn
‘Arabi dalam paham wahdat
wujud nya, ia mengajarkan bahwa tuhan lebih dekat dari leher manusia itu
sendiri. Tuhan juga tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan ada di mana-mana.
Ketika menjelaskan ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 115.
¬!ur
ä-Ìô±pRùQ$#
Ü>ÌøópRùQ$#ur
4
$yJuZ÷r'sù
(#q9uqè?
§NsVsù
çmô_ur
«!$#
4
cÃŽ)
©!$#
ììźur
ÒOÎ=tæ
ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Para sufi
menafsirkan bahwa “wajah Allah” sebagai sifat-sifat tuhan seperti pengasih,
penyayang, jalal dan jamal. Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama
hindu yang membayangkan tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti
ubun-ubun yang di pandang sebagai jiwa dan di jadikan titik konsentrasi dalam
usaha mencapai persatuan.
Diantara ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fansuri adalah:
1)
Allah
Allah adalah dzat
yang mutlak dan qadim sebab dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta.
Allah lebih dekat dari leher manusia sendiri, dan allah juga tidak bertempat
sekalipun dia sering dikatakan bahwa ada dimana-mana.
2)
Hakikat wujud dan penciptaan
Menurutnya, wujud
itu hanyalah satu walaupun kelihatanya banyak. Dari wujud yang satu ini ada
yang merupakan kulit [mazh-har, kenyataan lahir], Dan ada juga yang berupa isi
[kenyataan bati]. Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari
yang haqiqiyang disebut Al-Haqq Ta’ala.
3)
Manusia
Walaupun manusia
sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting
dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna.[8]
4)
Kelepasan
Manusia sebagai
makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil
[manusia sempurna],tetapi karna iya lalai,pandangan nya kabur dan tidak sadar
bahwa seluru alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[9]
2.
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
a.
Riwayat hidup Nuruddin Ar-raniri
Nama lengkapnya
adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif Al-Raniri
Al-Quraisyi Al-Syafi’i. Nuruddin Al Raniri adalah sarjana India keturunan Arab,
beliau dilahirkan di daerah Ranir yang tak jauh dari Gujarat.[10]
Tahun kelahirannya tidak di ketahui dengan pasti tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16.
Ibunya keturunan melayu, sementara ayah nya berasal dari keluarga imigran hadramaut.[11]
Darerah asal
Ar-Raniri sangat ramai di kunjungi para pendatang dari berbagai penjuru dunia.
Tujuan mereka untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari sumber perekonomian
yang baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebar luaskan ilmu-ilmu
agama sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Ia mengikuti
langkah keluarganya dalam hal pendidikan. Pendidikan pertamanya di Ranir dan
kemudian melanjutkannya ke wilayah handramaut. Sewaktu masih di negeri asalnya,
ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang paling banyak
mempengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Iman bin Abdullah bin Syaiban, seorang
guru tarekat Rifa’iyah keturanan Hadramaut Gujarat India. Dari syaikh Ba
Syaiban inilah Ar-Raniri di baiat sebagai khalifah untuk menyebar luaskan
tarekat Rifa’iyah ditanah melayu.[12]
Setelah beberapa tahun
melakukan perjalanan di timur tengah dan wilayah anak benua india, Ar-Raniri
mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat
tinggalnya. Ia tiba di Aceh pada tahun
1637 M. Ia memilih Aceh karena wilayah itu berkembang menjadi pusat
perdagangan, kebudayaan, politik, dan agama islam di kawasan Asia Tenggara yang
menggantikan posisi Malaka setelah dikusai Portugis.
Ar-Raniri menjadi
mufti kesultanan Aceh pada masa Sultan IskandarTsani, kedekatan Ar-Raniri
dengan Sultan membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu
kesempatan dan di dukung oleh Sultan, ia mengadakan majelis persidangan dengan
40 ulama pendukung paham wujudiyyah. Untuk
membasmi paham ini, kitab-kitab nya di bakar di di depan Masjid Baiturrahman,
Banda Aceh.
Di Aceh Ar-Raniri
di kenal sebagai seorang ulama yang memiliki cakrawala keilmuan yang sangat
luas, ia memiliki pengaruh besar dalam pengembangan islam di wilayah Nusantara,
dan ia juga merupakan ulama penulis yang produktif.
Diantara
karya-karya yang pernah di tulis oleh Ar-Raniri dalam bahasa melayu di
antaranya adalah:
1)
Ash-Shirat Al-Mustaqim.
2)
Butan Ash- Shalatin.
3)
Asrar Al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa Ar-Rahman.
4)
Akhbar Al- Akhirah fi Ahwal Al-Qiyamah
5)
Rafiq Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Syufiyyah.
6)
Aqa’id Ash-Shufiyyah Al-Muwahhidin.
7)
Durrah Al-Fara’idh bi Syarh Al-Aqa’id.
8)
Syifa’ Al-Qulub.
b.
Ajaran tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
Pemikiran Ar-Raniri dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1)
Tuhan
Pendirian Ar-Raniri
dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berpendapat bahwa
ungkapan “ wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi
lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah yang ada hanyalah wujud Allah
yang esa.
2)
Alam
Ar-Raniri berpandangan
bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajali. Ia menolak teori al-faidah
Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga
dapat jatuh kepada kemusyrikan.
3)
Manusia
Menurut Ar-Raniri,
manusia merupakan mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab,
manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-nya.
4)
Wujudiyah
Menurut Ar-Raniri
inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat al-wujud, maksudnya jika benar
tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat di katakan bahwa manusia adalah tuhan
dan tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh mahluk itu adalah tuhan.
5)
Hubungan syariat dan hakikat
Ar-Raniri mengajukan beberapa pendapat
para sufi, diantaranya adalah syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa
tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan
cabang Islam.
3.
Abd Somad Al-Falimbani
a.
Riwayat hidup Al-Falimbani
Abd Somad
Al-Falimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran palembang pada permulaan abad
ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun setelah tahun 1700 M dan meninggal
kira-kira tidak lama setelah tahun 1203 H/ 1788 M. Ia adalah putra Abd Jalil
bin Syekh Abd Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madhani dari Yaman, seorang ulama sufi
di San’a’, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di kedah. Ketika ia
berada di palembang, Abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita bernama Radin
Ranti. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash-Somad Al-Falimbani.[13]
Al-Falimbani
menerima pelajaran agama pertama kali di negeri kelahiranya, kemudian
melanjutkan ke Masjid Al-Haram, Mekah Al-Mukarramah. Karya ilmiah pertama
Al-Falimbani berjudul Zuhrah AlMurid fi Bayan Kalimah At-Tauhid yang di tulis
pada tahun 1764. Tulisan itu berisi tentang kumpulan pelajaran yang telah
diterima dari gurunya, yaitu Syaikh Ahmad bin Abdul Mun’in Al-Damanhuri yang
berasal dari mesir. Al-falimbani sejak kecil sudah menyenangi ilmu tasawuf.
Karna pengaruh lingkungan di tempat tinggal nya yang sering terjadi perdebatan
antara ulama setempat dan ulama pendatang. Pengaruh pergulatan pemikiran yang
memanas telah mendorong pemikiran tasawuf menjadi berkembang pesat.
Al-Falimbani menghabiskan hampir
seluruh umurnya di mekkah dan madina untuk menuntut ilmu dan menulis gurunya
antara lain, Syeikh Muhammad As-Samman Al-Madani, pendiri tarekat
Sammaniyya-Khalwatiyyah. Abd Somad memproleh ijazah dari gurunya untuk pertama
kalinya memperkenalkan dan mengajarkan tarekat Sammaniyyah-Khalwatiyyah di
palembang. Iajuga belajar kepada Syeikh Abdur Rahman bin Abdil Aziz Al-Mahgribi
ang mengajarkan beberapa kitab tasawuf dan filsafat.
Karya-karya
Al-Falinbani antara lain:
1.
Zuhra Al-Murid fi Bayan Kalimah At-Tauhid
2.
Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mukminin fi Fadha’il Al-Jihad
fi Sabilillah
3.
Tuhfa Ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman Al-mu’minin wa Ma Yufsiduh
fi Riddah Al-Murtadin
4.
Al-urwah Al-Wutsqa wa Silsilah Uli At-tuqa
5.
Ratib Abdush Shamad
6.
Zat Al-Muttaqin fi Tauhid Rabb Al-Alamin
7.
Hidayah Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin
8.
As-Sair As-Salikin ila Rabb Al-‘Alamin
b.
Ajaran tasawuf Al-Falimbani
Ajaran tasawuf
Al-Falimbani tertuang dalam karya-karyanya dalam bidang tasawuf. Sebagian besar
pemikiranya banyak dipengaruhi oleh karya-karya Al-Ghazali.
Ia menganut paham
Ibnu Arabi yang memandang manusia sebagai manifestasi allah yang paling
sempurna. Namun hal itu ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak terjadi
penyimpangan.
Seperti banyak
tokoh sufi lainya, Al-Falimbani percaya bahwa tuhan hanya dapat didekati
melalui keyakinan yang benar.
Al-Falimbani disebut sebagai orang pertama yang mengenalkan tarekat
samaniyyah di indonesia dan mengikuti tarekat Khalwatiyyah melalui Syaikh
Muhammad Abdul Karim Saman Al-Madani.
Ia memiliki
pengaruh penting dalam penyebaran islam dengan pendekatan tasawuf. Ia juga
memiliki banyak murid yang tersebar di seleruh penjuru negeri. Pendekatan
tasawuf yang ia yang kembangkan lebih spesifik pada pengamalan Ratib shamad di
masyarakat. Ratibnya ini mengandung pendekatan kepada tuhan dan dalam rangka
memerangi kekufuran dan ketidak adilan.
4.
Syekh Yusuf Al-Makassari
a.
Riwayat hidup Syekh Al-Makassari
Syekh Yusuf
Al-Makassari adalah seorang tokoh sufi yang berasal dari Sulawesi. Ia
dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H. Atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M.[14]
Nama aslinya adalah Muhammad Yusuf, ia terkenal dengan gelar Asy-Syaikh Al-Hajj
Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Bantani. Sementara
itu di daerah kelahiranya, ia lebih dikenal dengan gelar Tuanta Salamaka yang
artinya tuan kita yang selamat dan mendapat berkah. Syaikh Yusuf dibesarkan di
istana karena diangkat oleh raja sebagai anak angkatnya.[15]
Sejak kecil Syekh
Yusuf sangat suka mempelajari ilmu tentang keislaman, dalam waktu yang sangat
singkat ia dapat menghafal dan mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Ia juga
mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu
bayan, maani, badi, balaghah, dan mantiqh. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu
ushuluddin dan ilmu tasawuf.
Syekh Yusuf pernah
melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman ia menerima tarekat dari Syekhnya yang
terkenal bernama Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat
yang di pelajarinya cukup banyak. Beberapa terekat yang telah di pelajarinya
sebagai berikut:
1.
Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniridi Aceh.
2.
Tarekat Nuqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi
Billah.
3.
Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di
Zubeid di Yaman.
4.
Tarekat Syatariyah diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah.
5.
Tarekat Khalwatiyah
diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khaltawi
Al-Quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibn ‘rabi.
b.
Ajaran tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf
mengungkapkan paradigma sufistik bertolak dari asumsi dasar, bahwa ajaran islam
meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat).
Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. [16]
Transendensi
tuhan, Meskipun berpegang teguh pada transendensi tuhan, ia meyakini bahwa
tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu.
Insan kamil dan proses penyucian jiwa, Ia
mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya,
dan tuhan akan tetap tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses
penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya kehidupan dunia
bukanlah untuk di tinggalkan dan hawa nafsu harus di matikan. Sebaliknya, hidup
harus diarahkan untuk menuju tuhan, gejolak hawa nafsu harus dikendalikan
melalui tata tertib hidup dan disiplin diri atas dasar ketuhanan yang
senantiasa melindungi manusia.
Cara-cara ingin mendekatkan diri kepada tuhan:
1)
Tingkatan akhyar (orang-orang baik), yaitu dengan memperbanyak
shalat, puasa, membaca al-qur’an, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan
allah.
2)
Mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan),
yaitu latihan batin yang keras untuk melawan perilaku buruk dan menyucikan
pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan.
3)
Ahl adz-dzikir, yaitu orang-orang yang mencintai tuhan, baik secara
lahir maupun batin, mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek tersebut.
5.
Hamka
a.
Riwayat hidup Hamka
Hamka [Haji Abdul Malik Karim
Amrullah] ia dilahirkan di tanah Sirah,
Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam
1362 H. Betepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayah nya bernama Abdul Karim Amrullah.
Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arief.[17]
Semasa kecil, Hamka lebih dekat
dengan kakek an neneknya, Hal itu dikarenakan ayahnya lebih dibutuhkan oleh
masyarakat. Ketika berumur 4-12 tahun, ia termasuk anak yang nakal. Walaupun
demikian ia memiliki keberanian dan kemauan yang tinggi dalam menuntut ilmu.
Hamka mengawali pendidikanya dengan
belajar membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Pada usia tujuh tahun, Hamka
di masukan ayah nya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainudin Labai
El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah, di pasar usang Padang Panjang, Hamka lalu
dimasukan ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa, sore
hari pergi kesekolah diniyah, dan malam hari, Hamka berada di surau bersama
teman-temannya. Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, ia hanya
berkesempatan masuk sekolah desa selama tiga tahun dan tida tahun pula pada
sekolah agama dipadang dan parabek , di bukit tinggi.
Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya
pergi ke Jawa tatapi ia juga ke Mekkah, Sulawesi selatan, dan Sumatera Utara.
Di Sulawesi Selatan ia tinggal disana kurang lebih empat tahun dan pada
akhirnya Hamka menetap di Medan tahun 1936 sebagai pemimpin redaksi mingguan
pedoman masyarakat.[18]
Ketika tinggal di Jawa, Hamka aktif
dalam berbagai organisasi. Setelah menikah ia juga aktif sebagai pengurus
cabang Muhammadiyah Padang Panjang sibuk menghadapi kongres Muhammadiyah ke-19
di Minangkabau. Setahun kemudian (1930) ia mendirikan cabang Muhammadiyah di
Bengkalis dan langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta
pada tahun itu juga. Stahun berikutnya ia diutus ke Makasar oleh pimpinan pusat
Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjadi Mubaligh. Pada tahun 1933, ia menghadiri
kongres Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap
majelis Konsul Muhammandiyah Sumatera Tengah.
Adapun karya-karya yang pernah di tulis oleh Hamka diantaranya
adalah:
1.
Tasawuf Modern.
2.
Falsafah Hidup.
3.
Lembaga Hidup.
4.
Lembaga Budi.
5.
Di bawah Lindungan Ka’bah.
6.
Renungan Tasawuf.
7.
Pelajaran Agama Islam.
8.
Pandangan Hidup Muslim.
9.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
10.
Kedudukan Perempuan Dalam Islam.
11. Tafsur
Al-Azhar.
Prof. Dr. Hamka
meninggal pada tahun 1984 di Jakarta, dengan meninggalkan lembaga pendidikan
yang di kelolanya, yaitu perguruan Al-Azhar.[19]
b.
Hamka dan Masyarakat Modern Indonesia
Setelah meninggalkan panggung
politik, Hamka kembali ke kehidupan nya semula, menjadi Mubaligh, pengarang,
dan pemimpin umum majalah Panji Masyarakat. Dalam hidupnya ia banyak menorehkan
prestasi. Ia telah menulis buku sebanyak 118 judul. Hal itu merupakan prestasi
yang luar biasa . buku-buku karya Hamka terdiri novel,agama, filsafat, tasawuf,
kebudayaan, sejarah, politik, dan tafsir qur’an.
Karena kiprah dan
jasa Hamka yang besar, kaum intelektual universitas Al-Azhar Mesir tertarik
untuk memberikan gelat Doctor Honoris Causa pada bidang keislaman pada tahun
1958. Pidato pengukuhanya berjudul pengaruh
pikiran Muhammad Abduh di Indonesia. Gelar yang sama diberikan oleh
Universitas kebagsaan Malaysia dalam bidang kesusastraan, Hamka di beri gelar profesor
karena aktivitasnya dalam bidang akademik.
c.
Pemikiran Tasawuf Hamka
Pemikiran-pemikiran
Hamka lebih banyak tercurah pada soal-soal iman, akhlak, dan aspek-aspek
sosial. Ada dua buku yang dapat dibaca untuk menelusuri pemikiran-pemikiran Hamka.
Pertama, tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka sendiri. Kedua Tasawuf Positif
dalam Pemikiran Hamka yang ditulis oleh Muhammad Damami. Berikut ini adalah
pemikiran-pemikiran Hamka tentang tasawuf berdasarkan kedua buku diatas.
Pertama, Tasawuf
pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi pekerti dan
membersihkan batin. Artinya, alat untuk membentengi seseorang dari kemungkinan untuk
berbuat keburukan.
Kedua, Fungsi
Tasawuf Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang benar itu juga dilaksanakan lewat
pendidikan moral keagamaan yag efektif.
Ketiga, Tasawuf
Modern Tasawuf Hamka [disebut “tasawuf modern”] Berdasarkan pada prinsip
“tauhid” bukan pencarian pengalaman.
Keempat, Qana’ah Menurut
Hamka, qana’ah itu menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan kita,
sabar menerima ketentuan ilahi, dan bersyukur jika di beri nikmat.
Kelima, Tawakal
adalah menyerahkan segala keputusan kepada allah, berikhtiar, dan berusaha
kepada tuhan.
6.
Nawawi Al-Batani
a.
Riwayat hidup Nawawi Al-Batani
Abu Abd Al-Mu’thi
Muhammad bin Umar bin An-Nawawi Al-Jawi, dilahirkan pada tahun 1230 H/ 1813 M.
Di desa Tanara, sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang
propinsi Jawa Barat. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru
kepada ayahnya sendiri, Kyai H.Umar, seorang penghulu dari dari Tanara. Ia pun
sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten.[20]
Al-Batani
merupakan putra ke dua dari KH. Umar, ulama yang memimpin masjid dan pendidikan
islam di Tanara. KH, Umar adalah keturunan dari Maulana Hasanuddin ( Sultan
Hasanuddin ), sultan Banten yang pertama. Al-Batani merupakan keturunan ke-12
dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).[21]
Sejak tahun
1830-1860, An-Nawawi belajar di bawah bimbingan para ulama terkenalseperti,
Syekh Khatib Sambas, Syekh Abd Al Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh
Ahmad Nahrawi, Syekh Abd Al Hamid Baghistani, dan Syekh Ahmad Dimyati.
Al-Batani wafat
pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah (1879 M) di tempat
kediamanya yang terakhir di kampung Syi’ib Ali, Mekah Al-Mukarramah.
b.
Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Batani
Karya-karya Syaikh
Nawawi Al-Batani meliputi ilmu tafsir, hadis, sejarah, fiqh, tauhid, akhlak,
tasawuf, dan bahasa. Mengenai jumlah kitab yang dihasilkan Al-Batani, para
pengamat berpendapat ada yang mengatakan 115 kitab dan ada yang mengatakan 99
kitab. Karya-karyanya telah tercetak dan menyebar ke berbagai daerah. Adapun
sampai sekarang yang telah terdata dan tercetak sebanyak 41 kkitab, sebagai
berikut:
1.
Ats-Tsimar Al-Yani’at, Syarh Riyadh Al-Badiat.
2.
Tanqih Al-Qaul Al-Hatsis, Syarh ‘ala Lubab Al-Hadits.
3.
At-Tausyih (Qut Al-Habib), ‘ala Fath Al-Qarib.
4.
Nur Azh-Zhalam, ‘ala Manzhumah bi ‘Aqidah Al-‘Awwan
5.
Tafsir Al-Munir li Mu’allim At-Tanzil.
6.
Madarij Ash-Shu’ud, ‘ala Maulid An-Nabawi.
7.
Fath Al-Majid, Durar Al-Farid fi At-Tauhid.
8.
Fath Ash-Shamad, ‘ala Maulid An-Nabawi.
9. Nihayah
Az-Zain, ‘ala Qurrah Al-‘Ain.
10. Sulam
Al-Fhudala’, ‘ala Manzhumah Al-Adzkiya’.
11. Muraqi
Al-‘Ubudiyyah, Al-Hidayah Al-Bidayah.
12. Sulam
Al-Munajat, ‘ala Safinah Ash-Shalah.
13. Nasha’ih
Al-‘Ibad, ‘ala Al-Munbihah ‘ala Al-Isti’dadli Yaum Al-Ma’ad.
14. Al-‘Aqd
As-Samin, ‘ala Manzhumah As-Sittin.
15. Bahjah
Al-Wasa’il, ‘ala Ar-Risalah Al-Jami’ah baina Al-Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh wa
At-Tashawuf.
16. Targhib
Al-Mustaqin, fi Maulid Sayyid Al-Awwalin.
17. Tijam Ad-Durar.
18. Fath Al-Mujib,
fi Ilm Al-Manasik.
19. Mirqah Shu’ud
At-Tashdiq, ‘ala Sulam Ar-Taufiq.
20. Kasyifah
Asy-Syaja’, fi Safinah An-Naja’.
21. Qami’
At-Tughyan, ala’ Manzhumah Syu’ab Al-Iman.
22. Al-Futuhat
Al-Madaniyyah, ‘ala Syu’ab Al-Imaniyyah.
23. ‘Uqud Al-Lujain
fi Bayan Huquq Az-Zaujain.
24. H Al-Fath
Al-Ghafir Al-Khatiyah ‘ala Nadzm Al-Jurumiyah.
25. Qathr Al-Ghais,
‘ala Mas’alah Abu Lais.
26. Al-Fushus
Al-Yaqutiyyah, ‘ala Raudhah Al-Makiyyah fi Ashbab Tashrifiyah.
27. Riyadh
Al-Fauliyyah.
28. Suluk
Al-Jaddah, ‘ala Risalah Al-Muhimmah bi Lam’ah Mafadah fi Bayan Al-Jum’ah wa
Al-Mu’addah.
29. An-Nahjah
Al-Jayyidah li Hal Naqawat Al-Aqidah.
30. Hilyah
Ash-Syibhan, ‘ala Fath Ar-Rahman.
31. Mishbah
Adh-Dhulam, ;ala Al-Hikmah.
32. Dzari’at
Al-Yaqin, ‘ala Umm Al-Barahain.
33. Al-Ibriz
Ad-Dani, fi Maulid Sayyidina Muhmmad Al-Adnan.
34. Bughyah
Al-Anam,’ala Maulid Sayyid Al-Anam.
35. Ad-Durar
Al-Bahiyyah fi Syarh Al-Khasha’is An-Nabawiyyah.
36. Kasyf
Al-Maruthiyyah ‘an Sattari Al-Jurumiyyah.
37. Lubab Al-Bayan,
fi ‘Ilm Al-Balaghah.
38. Syarh ‘ala
Manzumat Sya ‘an Sattari Al-Jurumiyyah.
39. Fath
Al-‘Arifin.
40. Syarh
Al-Burdah.
41. Ar-Risalah
Al-Jami’ah baina Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh wa At-Tsawuf.
c.
Pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi Al-Batani
Menurut Hurgronje,
Al-Batani tidak mengajarkan atau melarang murid- muridnya untuk mengikuti
tarekat. Meskipun bersikap netral, nawawi selalu mengaku sebagai pengikut
Syaikh Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyyah. Dalam
karyanya yang bertema tasawuf, tampak jelas bahwa ia menjadikan Syaikh Ahmad
Khatib Sambas sebagai guru.
Nawawi adalah
penganut tasawuf Al-Ghazali, ia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti
salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu Qasim Al-Junaidi.
Baginya ia adalah pangeran tasawuf dalam arti teoritis dan praktis. Gaya hidup
sufi yang sederhana tanpa menentang kehidupan dunia merupakan ciri khas ajaran
ini.
Syaikh Nawawi
memperkenalkan kepada murid-muridnya sejumlah karya yang memiliki etika yang
lebih besar dari pada unsur-unsur mistisnya.
Pengaruh Al-Batani
mengajarkan ilmu tasawuf di kalangan masyarakat Indonesia sangatlah besar.
Buktinya adalah ketika ia menjadi murid pendiri tarekat Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah, dan juga ketika menjadi guru Hijaz melalui ajaran-ajaran
aktualnya dalam masyarakat, dan melalui karya-karyanya yang dipublikasikan,
telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan tasawuf dikalangan masyarakat
jawa.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam di Indonesia sampai sekarang masih di liputi dengan perilaku
sufistik dan kegemaran terhadap hal-hal yang keramat. Tarekat yang munculpun
beragam, tidak hanya bercorak Islam tetapi juga bercorak sintretisme. Sementara
itu melalui sejarah, kita tahu bahwa ada sejumlah kaum reformis yang berusaha
membersikan Islam dari unsur sufistik dan magis. Beberapa dari mereka ada yang
berhasil. Sehubungan dengan itu kita melihat bahwa pada awal perkembangan Islam
kecenderungan mistik lebih kuat. Namun, setelah itu muncul pendekatan fiqh yang
menggatikan ke cendrungan mistik.
Tasawuf yang
berkembang di Indonesia di dominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalaupun ada
penganut aliran falsafi pengaruhnya tidak begitu luas, bahkan aliran ini
mendapat perlawanan dari penikut Sunni. Oleh karena itu Hamka menulis bahwa
tasawuf di indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia diantaranya adalah: Hamzah
Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Abd Shamad Al-Palimbani, Yusuf Al-Makasari, Nawawi
Al-Bantani, dan Hamka.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Ilmu
Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012
Anwar, Rosihon, Solihin, Ilmu
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Anwar, Rosihon, Ahlak
Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf
Ulama, sufi, dan pejuang, Jakarta: Yayasan Obor, 1994
Mulyani, Sri, Tasawuf Nusantara,Jakarta: Kencana, 2006
Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia, TTp, 2009
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-batani.
[1] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 324.
[2] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 241.
[3] Ibid. Hlm. 242.
[4] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 327.
[5] Rosihon Anwar, Ahlak Tasawuf. (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 340.
[6] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu
Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 244.
[7] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 335.
[8] Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara,(Jakarta: Kencana, 2006) hlm.75
[9] Ibid
[10] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (TTp, 2009) hal 77
[11] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 339.
[12] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu
Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 249.
[13] Ibd, hlm. 255
[14] Ibid, hlm. 262.
[15] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 350.
[16] Abu Hamid, syaikh Yusuf Ulama,
sufi, dan pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), hlm 173.
[17] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu
Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 269.
[18] Ibid, hlm. 270-271.
[19] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 375.