BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Secara umum pendidikan dapat
dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal.
Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan
mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (Insan kamil). Disadari atau tidak praktik pendidikan
Indonesia belakangan ini telah terjebak dalam dunia kapitalisme dan
Komersialisme. Penyelenggaraan pendidikan adalah bagaimana sekolah dapat
menjual kharisma dan kebanggaan sebesar-besarnya sehingga banyak calon siswa
membelinya. Penilaian atas kharisma dan kebanggaan sebuah sekolah sifatnya
kapital sehingga pendidikan berbiaya mahal dapat dibenarkan.
Tidak bisa dilupakan pula bahwa
masih banyak masyarakat yang tingkat kesejahteraannya masih dibawah standar
kelayakan hidup. Jangankan untuk memikirkan biaya pendidikan sekolah, untuk
biaya hidup sehari-hari saja sudah kesusahan. Apalagi dengan biaya-biaya saat
ini yang semakin tidak terjangkau lagi. Akibatnya, banyak anak yang putus
sekolah dan tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dikarenakan kesulitan dalam membayar biaya sekolah.
B. Rumusan
masalah
1. Apa pengertian dari pendidikan?
2. Apa yang dimaksud dengan
kapitalisme pendidikan?
3. Apa yang dimaksud dengan
komersialisme pendidikan?
4. Bagaimana praktek kapitalisme dan
komersialisme pendidikan yang terjadi di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui arti dari
pendidikan.
2. Untuk mengatahui apa yang dimaksud
dengan kapitalisme pendidikan.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan komersialisme pendidikan.
4. Untuk mengetahui bagaimana praktek
kapitalisme dan komersialisme pendidikan yang terjadi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara
pendidikan adalah upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih
turunan bangsa. Untuk itu, manusia sebagai individu harus dikembangkan jiwa dan
raganya dengan menggunakan segala alat pendidikan dan didasarkan adat istiadat
bangsa itu.[1]
Adapun menurut UU No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional, pengertian dari pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.[2]
Pendidikan merupakan kegiatan yang
didalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik,
administrator, masyarakat, dan orang tua. Oleh karena itu agar tujuan
pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien maka setiap orang yang terlibat
didalamnya harus memahami perilaku individu yang terkait.[3]
Maka dapat kita simpulkan bahwa pendidikan
merupakan suatu usaha dan upaya dalam mewujudkan proses pembelajaran yang aktif
dan efektif, untuk membentuk para peserta didik (siswa) yang cerdas, berakhlak
mulia, dan mempunyai keterampilan dalam lingkungannya. Maka dari itu pendidikan
ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus dirasakan oleh semua
kalangan masyarakat, agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas
dan bermartabat.
B. Kapitalisme
Pendidikan
Kata kapitalisme berasal dari
kata capital yang berarti modal. Yang dimaksud modal adalah alat produksi
seperti tanah, dan uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi
arti kapitalisme adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala
sesuatu dihargai dan diukur dengan uang.
Menurut kautsar kapitalisme adalah
paham yang menyatakan bahwa tidak ada pembatasan dari negara bagi warga negaranya
guna memiliki properti pribadi sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi
modal pada perorangan (bisa individu ataupun korporasi) sehingga diharapkan
kesejahteraan orang tersebut dapat meningkat. Untuk mewujudkan adanya kapitalisme
maka diperlukan adanya liberalisme. Liberalisme adalah paham yang menyatakan
bahwa negara tidak boleh ikut campur tangan dalam berbagai sendi kehidupan
warga negaranya, sehingga negara hanya dibatasi kepada menjaga ketertiban umum
dan penegakan hukum. Untuk urusan yang lain diserahkan kepada masyarakat
sendiri untuk mengaturnya.[4]
Berdasarkan uraian di atas, dapat
kita simpulkan bahwa kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme
digunakan di dalam sektor pendidikan, negara tidak membatasi kepemilikan
perorangan di dalam sektor pendidikan, artinya satuan penyelenggara pendidikan
dapat dikuasai oleh perorangan, dimana segala kebijakannya diatur oleh sektor
swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan (pihak swasta) ini, mulai bersaing
antara satu dengan lainnya. Bagi pihak pengelola pendidikan yang memenangkan
persaingan akan mendapatkan pengguna jasa pendidikan lebih banyak. Modal dari
pihak pengelola sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat diakumulasikan.
Ketika mengikat maka akan terjadi monopoli, sehingga penentuan harga
(biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih dahulu dengan
para pengguna jasa pendidikan. Pengelola pendidikan pun menawarkan harga (biaya
pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan.
Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa pendidikan, karena mereka
tidak diberi kesempatan untuk menawar harga (biaya pendidikan). Akhirnya, akan
muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang kaya lah yang bisa mendapatkan
pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang
mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tersebut.
Kapitalisme muncul pada abad ke-17
sebagai bagian dari proyek modernisme dan kolonialisme yang melahirkan
imperialisme. Meski kolonialisme politik formal sudah tidak ada, tetapi menurut
Loomba neo-kolonialisme terus berlangsung yang dilakukan oleh negara-negara
maju melalui kontrol dan ekspansi ekonomi global. Dalam konteks ini, Aime
Cesaire, aktivis poskolonialisme Afrika, mendakwah kapitalisme, selain
mengeksploitasi manusia, membendakan manusia terjajah sekaligus penjajahnya.
Kehendak dan perjuangan negara-negara dunia ketiga untuk membebaskan diri dari
aneka macam “penjajahan” (politik, ekonomi, budaya) mendapat tantangan besar
dari neo-kapitalisme dalam bentuk ekspansi pasar kapitalisme.[5]
C. Komersialisme
Pendidikan
Dalam kamus bahasa Indonesia
Komersialisme/komersialisasi dapat diartikan sebagai perbuatan menghargai suatu
barang dagangan.[6]
Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita sarikan pengertian dari
komersialisme pendidikan adalah menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan.
Maksudnya adalah pendidikan tersebut bisa dikatakan sebagai sektor jasa yang
diperdagangkan.
Kemudian istilah komersialisasi
pendidikan/komersialisme pendidikan menurut Agus Wibowo mempunyai dua
pengertian yang berbeda, yaitu :
1. Komersialisasi pendidikan yang
berarti lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Dalam
pengertian ini pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang
mempunyai ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan
istilah komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan.
Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan
nasional atau idealisme Pancasila, tetapi perlu dicermati juga karena dapat
menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.
2. Komersialisasi pendidikan yang
berarti lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang
gedung saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi
pendidikan ini biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang
menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka
pungut dan lebih mementingkan laba. Itu hal yang lebih berbahaya lagi,
komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk
maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah
ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila.
Komersialisasi ini pun telah berdampak pada tingginya biaya pendidikan.
Secara gamblang masyarakat
disuguhi sesuatu yang seolah-olah mengamini kondisi tersebut. Contoh sederhana
dapat kita lihat ketika memasuki tahun ajaran baru. Tak terbayangkan betapa
banyaknya orang tua yang mengeluh akibat buku pelajaran yang digunakan tahun
ajaran sebelumnya tidak lagi dapat digunakan di tahun ajaran berikutnya.
Kondisi ini tentu sangat memberatkan masyarakat yang sebagian besar masih hidup
di bawah garis kemiskinan. Siswa dipaksa menggunakan buku pelajaran baru
sebagai pengganti buku lama yang konon tidak layak dipakai sebagai acuan lagi,
dengan harga yang relatif tinggi. Padahal jika dicermati, materi atau pokok
bahasan di dalamnya sama persis, tanpa ada ilmu baru yang dicantumkan.[7]
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa komersialisasi pendidikan itu
adalah sebuah situasi dan keadaan dalam dunia pendidikan yang lebih
mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis (keuntungan), sehingga
pengukuran keberhasilan pendidikan tidak tercapai, yang mengakibatkan
orang-orang yang taraf sosial ekonominya rendah tidak mempunyai kesempatan
untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas seperti
orang-orang yang taraf sosial ekonominya tinggi.
D. Praktek
Kapitalisme dan Komersialisme Pendidikan di Indonesia
Jika kita saksikan di negara
Indonesia sekarang ini praktek kapitalisme dan komersialisme pendidikan ini
terjadi di banyak lembaga pendidikan. Pendidikan di negeri ini semakin
hari semakin bertambah rumit permasalahannya. Permasalahan yang satu belum
selesai timbul lagi permasalahan yang lain. Seperti permasalahan dalam mutu
atau kualitas pendidikan, output atau keluaran yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan, bahkan hingga permasalahan pemerataan pendidikan sampai
sekarang pun belum dapat terselesaikan. Apalagi sekarang ini timbul permasalahan-permasalahan
lainnya, seperti kapitalisme dan komersialisme pendidikan. Begitu sangat
kompleks permasalahan pendidikan yang kita alami, dan permasalahan pendidikan
ini tidak akan pernah selesai karena seiring berkembangnya zaman dalam era
globalisasi dan perkembangan-perkembangan yang lain seperti IPTEK dan
kebudayaan, mengakibatkan permasalahan dalam dunia pendidikan juga semakin
berkembang.
Pembicaraan tentang
kapitalisme dan komersialisme pendidikan tidak terlepas dari pembicaraan
mengenai kehidupan masyarakat yang terkena dampak globalisasi lebih khusus
tentang globalisasi ekonomi. Sehingga nama faham dalam dunia perekonomian yang
dianut negara barat yakni Amerika dan sebagian besar Eropa kini telah
mengglobal di seluruh negara-negara dunia baik di Asia, Afrika maupun Australia
khususnya bagi negara-negara berkembang yang sangat didominasi oleh negara
maju.
Sekarang ini yang menjadi pokok bahasan utama
dalam pendidikan adalah biaya pendidikan yang semakin mahal dan sulit untuk
dijangkau oleh semua kalangan dan dalam hal ini pendidikan dikaitkan
sebagai barang dagangan oleh para pemegang modal atau dalam hal ini bisa
disebut dengan kapitalisme pendidikan.
Ada beberapa aspek yang
menyebabkan munculnya kapitalisme dan komesialisme pendidikan, diantaranya
adalah:[8]
a. Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi ini terkait dengan
masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV
pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan
tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan 25% lagi
berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
b. Aspek Politik
Ideologi pendidikan di Indonesia
adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat
kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45
pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan
bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap
kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam
kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya
termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila pendidikan tetap
mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat
meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini
didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.
c. Aspek Teknologi
Zaman sekarang ini teknologi
semakin berkembang pesat, maka semakin menuntut sekolah-sekolah untuk menunjang
berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Tapi tak jarang
lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng untuk melakukan komersialisasi
pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar, “Ini dilakukan agar para
peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang dari hari ke hari
semakin maju. “Oleh karena itu uang masuk ataupun SPP di sekolah ataupun
perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal dari
ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya. Ujung-ujungnya, mereka
ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi bisa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan bangsa.
d. Aspek Budaya
Bangsa Indonesia sangat
mengagungkan gelar akademis.Sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang
keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan
dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut
budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini berkembang pada lembaga
pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang memiliki gelar
sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik mereka.
Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat.
e. Aspek Sosial
Pendidikan sangat menentukan
perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang,
akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan
pendapat Kartono yang menyatakan bahwa: tingginya tingkat pendidikan dan
tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan
bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai
pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat
dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan
masyarakat golongan ekonomi lemah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasasarkan pembahasan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa:
Kapitalisme pendidikan terjadi
apabila prinsip kapitalisme digunakan di dalam sektor pendidikan, negara
tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan, artinya
satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan, dimana segala
kebijakannya diatur oleh sektor swasta tersebut.
Komersialisme pendidikan dapat diartikan sebagai
menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Komersialisasi pendidikan atau
mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau
langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang
diperdagangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Engkoswara, Administrasi
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2015
Hartini,
Dwi, Problematika Pendidikan di Era Globalisasi pdf, http://core.ac.uk/download/pdf/16509053.pdf
Mahmud, Psikologi
Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012
Rahardjo, M. Dawam, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta:
LP3ES, 1987
Yuniar, Tanti, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung, Agung Media Mulia, TT
https://insaniaku.files.wordpress.com/2009/06/3-komersialisasi-dan-tanggung-jawab-pendidikan-wan-anwar.pdf
[5]
https://insaniaku.files.wordpress.com/2009/06/3-komersialisasi-dan-tanggung-jawab-pendidikan-wan-anwar.pdf
[7] Dwi Hartini, Problematika
Pendidikan di Era Globalisasi pdf, hlm.11 http://core.ac.uk/download/pdf/16509053.pdf
(diakses 9 Januari 2017)
[8]
http://20319708.siap-sekolah.com/2013/09/06/komersialisasi-pendidikan-di-indonesia/#.WHHnVvlyfIU