Social Icons

Minggu, 13 Desember 2015

JUAL BELI, RIBA, ASURANSI DAN BANK

JUAL BELI, RIBA, ASURANSI DAN BANK

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum amaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai jual beli, riba, bank dan asuransi, dan bank, dimana merupakan bagian dari fiqih muamalah. Jual beli, riba, asuransi dan bank merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat.
Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktivitas dan akibatnya. Riba memiliki macam-macam dan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya riba, yang sudah tentu harus sangat diperhatikan dengan hukumnya.
Selain itu bank dan asuransi, kedua kegiatan ekonomi ini pun harus mendapat perhatian, karena keabsahannya pun masih dipertanyakan oleh para ulama. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jelas mengenai pembahasan riba, bank dan asuransi, akan di bahas pada pembahasan makalah kali ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan jual beli ?
2.      Apa yang dimaksud dengan riba ?
3.      Apa yang dimaksud dengan asuransi ?
4.      Apa yang dimaksud dengan bank ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jual Beli
1.      Pengertian Jual Beli
Jual beli (اَلْبَيْعُ) artinya menjual, mengganti, menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata (اَلْبَيْعُ) dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawanya, yaitu kata : (اَلشِّرَاءُ) beli. Dengan demikaian kata (اَلْبَيْعُ) berarti kata jual dan sekaligus juga berarti beli.[1]
Menurut Ulama Hanafiyah didefinisikan  dengan :
مُبَادَلَة شَ رْغُوْبٍ فِيْهِ عَلَى وَجْهِ يْئٍ مَ مُفِيْدِ مَخْصُوْصٍ
“Tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanaat.”
Unsur-unsur definisi yang dikemukakan ulama Hanafiyah tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang tertentu adalah ijab dan kabul, atau bisa juga melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman keras dan darah tidak dibenarkan.[2]
           Dalam definisi diatas ditekankan kepada hak milik dan pemilikan, sebab ada tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa.
           Kemudian dalam kaitannya dengan harta, terdapat pula perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dan Jumhur Ulama.
Menurut Jumhur Ulama yang dimaksud harta adalah materi dan pendapat. Oleh sebab itu manfaat dari suatu benda boleh diperjual-belikan. Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan harta (maal) adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu manfaat dan hak-hak, tidak dapat dijadikan objek jual beli.


2.      Dasar Hukum Jual Beli
·         Al-Qur’an
Jual-beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu... (Q.S. Al-Baqarah : 198)
·         Sunnah
Dalam sabda Rasulullah disebutkan :
سُئِلَ النّبِيُّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ ( رواه البزار والحاكم )
“Nabi Muhammad Saw. Pernah ditanya : Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab : “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati.” (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)
           Jual beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, tidak curang, mengandung, unsur penipuan dan pengkhianatan.[3]
·         Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti rokok.[4]

3.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Mengenai Mazhab Hanafi rukun jual-beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual-beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun karena unsur kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator  (Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut Jumhur Ulama rukun jual beli itu ada empat :
a.       Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b.      Sighat (lafal ijab dan kabul)
c.       Ada barang yang dibeli
d.      Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut Jumhur Ulama syarat jual beli sesuai dengan rukun  jual beli yang disebutkan  diatas  :
1)      Syarat orang yang berakad
a)      Berakal.
b)      Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
c)      Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.[5]


2)      Syarat yang terkait dengan ijab kabul
a)       Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
c)       Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.[6]
3)      Syarat yang diperjualbelikan
a)      Barang yang diperjual-belikan itu halal.
b)      Barang itu ada manfaatnya.
c)      Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
d)     Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
e)      Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
4)      Syarat nilai tukar barang
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Ulama fiqih mengemukakan syarat as-tsamn sebagai berikut :
a)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b)      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
c)      Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.[7]
4.      Bentuk-bentuk Jual Beli
Jumhur Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi dua bentuk.
1)      Jual beli yang Shahih
2)      Jual beli yang Batil
·         Jual beli sesuatu yang tidak ada.
·         Menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
·         Jual beli mengandung unsur tipuan
·         Jual beli benda najis
·         Jual beli al-urbun
·         Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang.
5.      Hak Khiyar
Hak memilih untuk melangsungkan atau tidak jual-beli tersebut, karena ada suatu hal bagi kedua belah pihak.
1)      Khiyar Majlis
Ialah kedua belah pihak yang melakukan akadmempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli selama masih berada dalam satu majelis.
2)      Khiyar Syarath
Ialah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad selama dalam waktu tenggang yang disepakati.
3)      Khiyar ‘Aib
Ialah ada hak pilihdari kedua belah pihak yang melakukan akad apabila terdapat suatu cacat pada benda yang diperjualbelikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung.
4)      Khiyar Ru’yah
Adalah ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat pad saat akad berlangsung.

B.     Riba
1.      Definisi
Riba secara bahasa bermakna ziyadah berarti tambahan. Dalam pengertian lain, secar linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, namun secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam trasaksi jual beli, maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangn dengan prinsip muamalah dalam Islam.
2.      Jenis-jenis Riba
a)      Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
b)      Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya kerena si peminjam tidak mampu membayar utangnyapada waktu yang ditetapkan.
c)      Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d)     Riba Nasi’ah
Penagguhan penyeraha atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[8]

3.      Jenis Barang Ribawi
Para ahli fikih islam bependapat bahwa barang ribawi  meliputi :
·         Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
·         Bahan makanan pokok,seperti beras, gandum, dan jagung, serta makanan tambahan, seperti sayuran-sayuran dan buahan-buahan.
Dalam kaitanya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi dapat di uraikan sebagai berikut :
·         Jual beli antar barang–barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama, barang tersebut pun harus di serahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp5.000.000 dengan Rp.5000.000 dan di serahkan ketika tukar menukar.
·         Jual beli antara barang-barang ribawi yang lainnya jadi di perbolehkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp.5000.000 dengan 1dollar amerika.
·         Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak di syaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk di serahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
·         Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi di perbolehkan tanpa persamaan dan di serahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.[9]
4.      Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
a)      Dalam Al-Qur’an
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarruf kepada Allah.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menmbah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).(Q.S Ar-Ruum : 39)
Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya, dan tidak pula menganiaya. (Q.S. al-Baqarah 278-279)


C.     Asuransi
1.      Pengertian
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’cub, menyebutkan bahwa asuransi berasal dari kata dalam bahasa Inggris Insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah :
“Suatu perjanjian dengan nama seorang penanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Didalam Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak ada satupun ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu masalah asuransi dalam islam termasuk ijtihadiah, artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal atau haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli Fiqh melalui ijtihad.[10]
Ada beberapa macam pendapat para ulama tentang asuransi diantaranya :
a)      Bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam islam. Pandangan ini didukung oleh beberapa ulama antara lain, Abdul Wahab Khallaf, Muh. Yusuf, Abdurrahman Isa, dll.
·         Tidak ada ketetapan maupun al-Hadist yang melarang asuransi.
·         Terdapat kesepakatam kerelaan dari keuntungan bagi kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
·         Kemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari mudharatnya.
b)      Jenis-jenis Asuransi
Dilihat dari segi fungsinya
Ø  Asuransi kerugian (non life insurance)
Asuransi kebakaran yang meliputi kebakaran, peledakan, petir, kecelakaan kapal terbang dan lainnya.Asuransi aneka, yaitu asuransi yang tiak termasuk dalam asuransi kebakaran dan pengangkutan sepetri asuransi kendaraan bermotor, kecelakaan dari pencurian, dan lainya.
Ø  Asuransi jiwa (life insurance)
Asuransi jiwa merupakan perusahaan asuransi yang dikaitak dengan

D.    Bank
1.      Pengertian
Didalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bebtuk uang atau giral. Jadi kegiatannya bergiterak dalam bidang keuangan serta kradit dan meliputi dua fungsi penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.
a)      Pengertian Bank dan Rente
Usaha bank adalah masalah yang selalu dikaitkan dengan uang.
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang lebih dikenal dengan istilah bunga.
Oleh Fuad Muhammad Fachruddin disebutkan bahwa rente ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank yang meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperoleh juga bertambah banyak.
Menurut Fachruddin, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab, pembayaran lebih dari uang yang dipinjamkannya, sedangkan uang yang lebih dari itu adalah riba, dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain, bahwa bank itu hanya tahu menerima untung, tanpa resiko apa-apa. Bank meminjamkan uang, kemudian rentenya dipungut, sedangkan rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yang sudah ditetapkan keuntungannya. Pehak bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.
Didalam Islam dikenal ada doktrin tentang riba yang mengharamkannya. Islam tidak mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai persoalan ini akan berakibat timbul kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh tidaknya, halal haramnya. [11]

2.      Kelembagaan Bank
Lembaga keuangan terbagi menjadi 2, yaitu :
a)      Bank Umum
Bank Umum menurut Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana diperbaharui dengan UU nomor 10 Tahun 1998, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
·         Bank Umum Konvensional
·         Adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah. Bank umum sering disebut bank komersil (commercial bank)
Ø  Kegiatan-kegiatan Bank Umum Konvensional
Menghimpun dana dari masyarakat (Funding) dalam bentuk :
Menyalurkan dana ke masyarakat (Lending)
Memberikan jasa-jasa bank lainnya (Services)
Ø  Bentuk badan hukum Bank Umum Konvensional
Perusahaan Perseroan (Persero)
Perseroan Daerah (PD)
Koperasi, Perseroan Terbatas (PT).
b)      Bank Umum Syariah
Bank Umum Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah adalah BPR yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembayaran kegiatan usaha, atau kegiatan lain yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Berdasarkan bentuk hukumnya bank dapat berupa perseroan terbatas, perusahaan daerah atau koperasi.
c)      Perkembangan bank syari’ah di Indonesi
Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang dilakukannya terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
Ø  Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
Ø   Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi yang sehat, dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan bermoral.
Ø  Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
Ø  Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.[12]
d)     Karakteristik Bank Syariah diantaranya :
Ø  Berdasarkan prinsip syariah
Ø  Implementasi prinsip ekonomi Islam
Ø  Beroperasi atas dasar bagi hasil
Ø  Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
Ø   Tidak menggunakan
e)      Fungsi bank Syari’ah
Ø  Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana.
Ø  Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor – sektor yang produktif dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Ø  Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan. Instrumen Ziswafberfungsi untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi.





[1] M.Ali Hasan, Berbagai macam Transaksidalam Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Hal : 113
[2] ibid., hal : 114
[3] Ibid.,hal : 116
[4]
[5] http://materi-kuliah0420.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-tentang-jual-beli.html
[6] Ibid., Hal : 120
[7] Ibid., Hal : 124
[8] Syafi’i Muhammad, 2001, Bank Syari’ah. Jakarta : Tazkia Cendika. Hal : 41
[9] Ibid., hal : 42
[11] Hasan Ali, 2004, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta : Rajawali press. Hal : 182

0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates