A. Pengertian
Al-Jarh dan Al-Ta’dil
Secara bahasa
lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata
Kerja يَجْرَحُ
- جَرَحَ
yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir,
Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الْحَاكِمُ الشَاهِدَ جَرَحَ “hakim
itu menolak saksi”.
Menurut Istilah, Al-Jarh
ialah: “Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan
ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan
riwayatnya di tolak”.[1] Di
dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh
menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan
ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur
riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.[2]
Adapun Pengertian
ta’dil menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi Asy Shiddieqy definisi ta’dil adalah:
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil,
yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[3] Dengan
demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang
membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
mereka.[4] Secara
lebih tegas lagi Abd al-Rahman Ibn Abi Hatim Al-Razi seperti dikutip Faturahman
mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh
dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd tertentu dan membahas
pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini
merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al- Hadits.
Dan dari berbagai
macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil
adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan
memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B. Dasar Kebolehan
Melakukan Jarh dan Ta’dil
Pada dasarnya
menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah
sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam
dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan
tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain.[5]
Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh
karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman
Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[6] dan apakah ini berarti kita tidak menentang
anjuran hadits Nabi yang menyatakan: “ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya
(yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari kiyamat” (H.R.
Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan
sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah
menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal
para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara As-Sunnah(al-
Hadits). Menurut Ajaz al-Khatib, menyatakan bahwa seiring dengan munculnya
periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih
adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah
diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanjutnya. Kepentingan
dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata berkhidmat pada
syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat
yang ikhlas.[7]
C. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan ta’dil dan syarat seorang
kritikus
a. Dusta
orang yang sudah diketahui pernah berdusta dalam satu
hadits,walaupun hanya satu kali saja dalam seumur hidupnya,tidak diterima
haditsnya,meskipun ia bertaubat. Adapun orang yang pernah menjadi saksi
palsu,apabila bertaubat,diterima riwayatnya.
b. Tertuduh Dusta
tertuduh dusta ialah bahwa perawi itu telah terkenal berdusta dalam
pembicaraan.tetapi belum dapat dibuktikan ia pernah berdusta dalam soal
meriwayatkan hadits.
c. Fusuq (melanggar perintah)
fusuq dalam hal amal,amal yang lahir bukan dalam hal i’tiqad (akidah)
d. Jahalah (tidak dikenal)
tidak dikenal perawinya dijadikan dasar menolak hadits karena orang
yang tidak dikenal namanya atau pribadinya,tentu tidak dikenal
keadaannya,apakah ia orang yang dapat dipercaya ataukah sebaliknya.
e. Menganut Bid’ah
yaitu mempunyai sesuatu i’tiqad yang menyalahi agama (Al-Qur’an dan
As-Sunnnah)dengan tidak disengaja,lantaran suatu kesamaran,atau salah
pengertian. Apa bila bid’ah ini karena disengaja, maka dinamakan kufur.[8] Mengingat
perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang
rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan
menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan
kriteria tertentu bagi seseorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun
syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat,
syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk
men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka
periwayatan tidak diterima.[9]
D. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari
sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah
beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya
meliputi:
1.Bersikap jujur dan profersional, yaitu mengemukakan keadaan
perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib
mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya
tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2.Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat
dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan
Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam
mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan
para perawi seorang ulama cukup mengatakan: “ Tidak adanya keteguhan dalam
berbicara”
4.Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih.
Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya
tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa,
dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah
atau‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. lain halnya
dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan
itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, banyak
ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib
ada dua jalan:
1.Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi
bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin
Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh
lagi.
2.Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang
semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada
cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
E. Tingkatan
dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al-
Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas
perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para
ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh
maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan
beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan
yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana
yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi
tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal
sebagai berikut.[10]
Pertama: (orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dhabit, tiada
bandingan baginya),
Kedua: (si
fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi
keadilannya),
Ketiga: (terpercaya
lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan
hafalan yang baik),
Keempat: (kokoh,
sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dhabit)
Kelima: (benar,
jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan
seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dhabitannya.
Keenam: (syeikh,
tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan
seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama
dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan
keenam yang tidak menunjukkan kedhabitan seorang perawi, baru dapat diterima
Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[11]
2. Tingkatan lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara
berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya,
sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang
sangat parah, misalnya dengan kata-kata: (Manusia paling pendusta, tiangnya
dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang
bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang
sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan
misalnya: (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan
bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi
dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya: (tertuduh dusta, tertuduh
mengada-ada, mencari hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits
diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan: (ditolak Hadisnya, dibuang
Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah
atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang
digunakan misalnya: (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis
melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan
perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan
misalnya: (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak
termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari
padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya
memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki
sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat
dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya
adalah ringan.[12]
F. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para
ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama
yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. pertentangan
ulama itu ada yang diketahui sebabnya dan ada pula yang tidak diketahui sebabnya.
Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia (perawi tersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya. Menurut Ajaz al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu
pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil. Terkadang
pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah,
sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui
perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal
sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang
tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan
apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai
pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1.Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama
yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur,
alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat
kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang
yang menta’dil.[13]
2.Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih
banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat
keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun
ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil
sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3.Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat
ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan
demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai
diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4.Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam
mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan
menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya
ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh
ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
G. Kitab-kitab yang membahas tentang Al-jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang
sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai
para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan
penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin
Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah
itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah
mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut
ini karya-karya mereka :
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233
H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di
India. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan
Ash-Shaghiir[/I].
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin
Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah
bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun
min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat
tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali
An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab
Adl-Dlu’afaa’karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa
bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad
bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya
Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi
hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau
biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H)
mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan
nomor.
10. Kitab Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim
Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari
kitab-kitab tentang Al-jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita dan paling banyak
faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil
terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya
para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam
kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu
kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan –
Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat
Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar
Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah
was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398
H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.[14]
kesimpulan
Hadits sebagai
salah satu pedoman Islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka.
Tapi hadits kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang
patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang
cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam, hadits
memiliki beberapa cabang ilmu, salah
satunya adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang
membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadits. Telah
meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk menelitinya.
Dari kitab-kitab yang mengkaji ilmu
inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka. Dari sini kita bisa
tahu bahwa kepedulian para ulama ahli hadits untuk menjaga dan membentengi
risalah yang agung ini dari upaya-upaya pemalsuan dan kepentingan-kepentingan
yang hanya mementingkan kelompok saja. Dan dari sini pula kita bisa tahu bahwa
keilmuan dalam Islam begitu hebat, begitu besar karena para ulama hanya
mengharap ridho Allah semata. Karena inilah yang diwariskan Rasulullah SAW
untuk kita umatnya hingga akhir zaman.
Demikianlah
sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu
ini sangat urgen bagi terlaksananya
pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz,(1989), Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu,
Damaskus: Dar Al-Fikr
Al-Qaththan, Syaikh Manna’,(2009) Pengantar Studi Ilmu Hadits
(Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Al-Qur’an
Al-Jamil,(2012),Bekasi: Cipta Bagus Segara
Hasbi Asy-Shiddieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. (2010), Pengantar
Ilmu hadits,Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Rahman, Fatchur,(1974), Ikhtisar Musthalah Al-Hadits,
Bandung: PT. Al-Ma’arif
Yuslem, Nawir, Dr. M.A.(2006), Sembilan Kitab Induk Hadis,
Jakarta: Hijri Pustaka Utama
[1] Ajaz Al-Khatib,Ulum Al-Hadist Ulumuhu Wa Musthalahuhu,(Damaskus:Dar
Al-Fikr),1975,hal.260
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan,Pengantar Studi Ilmu Hadis,(Terjemahan),(Jakarta:Pustaka
Al-Kautsar),2009,hal.82
[3] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,(Semarang:Pt.Pustaka
Rizki Putra),2010,hal.279
[4] Ajaz Al-Khatib,Op,Cit,hal.261
[5] Nawir Yuslem,Sembilan Kitab Induk Hadis,(Jakarta:Hijri Pustaka
Utama),2006,hal.171-172
[6] Al-Qur’an Al-Jamil,(Bekasi:Cipta Bagus Segara),2012,hal.516
[7] Ajaz Al-Khatib,op.cit,hal.267
[8] Teungku Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Semarang:Pustaka
Rizki Putra),2009,hal.177-180
[9] Fatchur Rahman,Ikhtisar Mushthalahul Hadits,(Bandung:Pt
Al-Ma’arif),1974,hal.310-311
[10] Nawir Yuslem,op.cit,hal.173
[11] Ibid,hal.174
[12] Ibid,hal.174-175
[13] Ajaz Al-Khatib,op,cit,hal.267
[14] Ibid...hal.268
0 comments:
Posting Komentar