Social Icons

Minggu, 13 Maret 2016

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM



ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Ilmu kalam sangatlah penting untuk diketahui oleh seorang muslim yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki konsekwensi yang berpengaruh pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang harus menginterpretasikan tuhan itu sebagai sembahannya hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik,  hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu diawali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.

B.       Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Apa saja aliran-aliran dalam ilmu kalam?
2.      Bagaimana aliran-aliran dalam ilmu kalam?

C.       Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apa saja aliran-aliran dalam ilmu kalam.
2.      Untuk mengetahui bagaimana aliran-aliran dalam ilmu kalam.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aliran-Aliran Ilmu Kalam

1.      Aliran Khawarij
          Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut Ibnu Abu Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[1] Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah. Disamping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.[2]
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan perselisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sufyan, gubernur Syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada  ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah kafir. Dengan demikian, orang yang  melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash. Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
a.        Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
  1. Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
  2. Urwah bin Hudair
  3. Mustarid bin sa’ad
  4. Hausarah al-Asadi
  5. Quraib bin Maruah
  6. Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
  7. Abdullah bin Basyir
  8. Zubair bin Ali
  9. Qathari bin Fujaah
  10. Abd al-Rabih
  11. Abd al Karim bin ajrad
  12. Zaid bin Asfar
  13. Abdullah bin ibad.[3]
b.      Ajaran-ajaran pokok khawarij
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
  1. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
  2. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
  3. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
  4. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
  5. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
  6. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
  7. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
c.       Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah: 
  1. Al-Muhakkimah
  2. Al-Azariqah
  3. Al-Najdat
  4. Al-baihasyiah
  5. Al-Ajaridah
  6. Al-Sa’Alibah
  7. Al-Ibadiah
  8. Al Sufriyah
2.      Aliran Murji’ah
a.        Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Nama Murji'ah diambil dari kata irja atau arja'a yang bermakna penundaan, penangguhan. dan Pengharapan. Kata arja'a mengandung Pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja'a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :   
    1)      Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
    2)      Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
     3)      Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. 

b.        Ajaran-ajaran Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
1)      Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati
2)      Orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
3)      Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat.[4]
c.        Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits, yang berpendapat bahwa bagaimanapun besarnya dosa seseorang kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[5]

3.      Aliran Syi’ah
a.        Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Arti Syi’ah dalam bahasa Arab adalah pengikut. Sedangkan arti “kaum Syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan umat Islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa saidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti nabi, karena nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah saidina ‘Ali.[6]
Terdapat dua pendapat mengenai latar belakang munculnya aliran Syi’ah, yaitu:
1)      Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
2)      Menurut Mongomary Watt
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak  di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah. Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perkembangannya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri. Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah secara menyeluruh.
b.        Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :
   1) At Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
    2)  Al ‘adl   
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
     3) An Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
     4) Al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
     5) Al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
4.      Aliran Qadariyah
a.        Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Lafadz Qadariyah berakar dari qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.[7]
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.[8]
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
b.        Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1)      Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2)      Allah swt. tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula maka Allah berhak disebut adil.
3)      Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, qudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zatnya sendiri. Menurut mereka Allah swt. itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4)      Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.[9]

5.      Aliran Jabariyah

a.        Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut As-syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah swt. Dalam istilah Inggris paham jabariyah disebut fatalisme atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini  tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datang ke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di Irak, jabariyah di Khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya aliran ini di sebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Kaum Jabariyah ini terpecah menjadi 3nfirqah, yaitu:
1)      Jahmiyah, yang dikepalai oleh Jahm bin Shafwan.
2)      Najjariyah, yang dikepalai oleh Husain bin Muhammad an Najjar.
3)      Dlirariyah, yang dikepalai oleh Dlirar bin Umar.[10]


6.      Aliran Mu’tazilah
a.    Pengertian dan latar belakang munculnya Mu’tazilah
Lafazh Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya Washil bin Atha’ tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
b.   Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yang dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
1)      At Tauhid (keesaan Allah)
2)      Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
3)      Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
4)      Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
5)      Amar ma’uruf dan Nahi mungkar.

c.        Tokoh-tokoh dan aliran-aliran Mu’tazilah
Diantara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah:
1)      Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha.
2)      Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al ‘Allaf.
3)      Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4)      Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5)      Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6)      Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeidas Salami.
7)      Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
8)      Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin Ar-rasy.
9)      Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10)  Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11)  Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al Khayath.
12)  Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
13)  Aliran-aliran lain yang banyak lagi.[11]
7.      Ahlussunah Wal- Jamaah
a.      Pengertian dan para tokoh serta pemikiran-pemikiran Ahlussunah Wal- Jamaah
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jamaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau.
Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di bedakan menjadi dua pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Aliran ini muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
b.        Tokoh Ahlussunah Wal- Jamaah
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
    1)  Abu al Hasan al Asy’ari
      a)  Pokok-pokok pemikirannya
          (1) Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya Tuhan memiliki sifat sebagaiman disebut di dalam Alqur’an, yang disebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat Tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
         (2) Al-Qur’an, Manurutnya al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
         (3) Melihat Tuhan, menurutnya Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
         (4) Perbuatan Manusia. Menurutnya perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
         (5) Keadilan Tuhan, Menurutnya Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan maha kuasa atas segalanya.
         (6) Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.[12]
    1) Abu manshur Al-Maturidi
       a)Pokok-pokok pemikirannya :
         (1) Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
         (2) Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatanTuhan.
       (3) Al Qur’an. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
       (4) Kewajiban Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
       (5) Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
       (6) Janji Tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji Tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.[13]
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang  hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan  yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.













DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru,  2010
Asmuni, M. Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta :RajaGrafindo Persada, 1996
Nata, Abuddin,  Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
Zainuddin, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992


 



[1] Abuddin Nata,  Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995) hlm. 29
[2]  M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,  (Jakarta :RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.102
[3] Ibid. hlm.104
[4] Ibid. hlm.106
[5] Ibid. hlm.108
[6] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010) hlm. 93
[7] Abuddin Nata, op. cit. hlm. 122
[8]  Zainuddin, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) hlm. 45
[9] Ibid. hlm. 47
[10] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010) hlm. 277
[11] Ibid. hlm. 202
[12] M. Yusran Asmuni, op. cit. Hlm. 122
[13] Ibid. hlm. 128

3 comments:

 
 
Blogger Templates