ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam sangatlah penting untuk diketahui oleh
seorang muslim yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan
tentang aqidah dalam Islam yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan
aqidah Islam ini memiliki konsekwensi yang berpengaruh pada keyakinan yang
berkaitan dengan bagaimana seseorang harus menginterpretasikan tuhan itu
sebagai sembahannya hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak
terampunkan (syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam
adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan
umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang
politik, hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa,
titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya
kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu
diawali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok
dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang
berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
Makalah
ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Apa saja aliran-aliran dalam ilmu kalam?
2.
Bagaimana aliran-aliran dalam ilmu kalam?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui
apa saja aliran-aliran
dalam ilmu kalam.
2.
Untuk mengetahui bagaimana aliran-aliran dalam ilmu kalam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Aliran-Aliran Ilmu Kalam
1. Aliran Khawarij
Aliran
Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang
muncul dalam teologi Islam. Menurut Ibnu Abu Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa
yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan
telah di sepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaurrasyidin,
atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini
berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada
mereka yang keluar dari barisan Ali.[1] Kelompok ini juga kadang kadang
menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang
mengorbankan dirinya untuk Allah. Disamping itu nama lain dari khawarij ini
adalah Haruriyah,
istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah,
yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi
Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.[2]
Kelompok khawarij ini
merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan
beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang
menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk
menyelesaikan perselisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sufyan,
gubernur Syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak
setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah
yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh
manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah
kafir. Dengan demikian, orang yang
melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian
golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan
memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa
Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash. Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat
membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil
terbunuh ditangan mereka.
a.
Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang
terpenting adalah :
- Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
- Urwah bin Hudair
- Mustarid bin sa’ad
- Hausarah al-Asadi
- Quraib bin Maruah
- Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
- Abdullah bin Basyir
- Zubair bin Ali
- Qathari bin Fujaah
- Abd al-Rabih
- Abd al Karim bin ajrad
- Zaid bin Asfar
- Abdullah bin ibad.[3]
b.
Ajaran-ajaran pokok
khawarij
Secara umum ajaran-ajaran pokok
Khawarij adalah:
- Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
- Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
- Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
- Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
- Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
- Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
- Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
c.
Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan
mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan
sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah:
- Al-Muhakkimah
- Al-Azariqah
- Al-Najdat
- Al-baihasyiah
- Al-Ajaridah
- Al-Sa’Alibah
- Al-Ibadiah
- Al Sufriyah
2.
Aliran Murji’ah
a.
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Nama Murji'ah diambil dari kata irja atau arja'a yang bermakna penundaan, penangguhan. dan Pengharapan.
Kata arja'a mengandung Pula arti memberi harapan, yakni memberi
harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
Selain itu, arja'a berarti pula meletakkan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh
karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta
pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Hal-hal
yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :
1)
Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij, mengkafirkan
pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengakfirkan orang- yang
terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2)
Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang
menyebabkan terjadinya perang jamal.
3)
Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan
Usman bin Affan.
b.
Ajaran-ajaran Murji’ah
Ajaran-ajaran
pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
1)
Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati
2)
Orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan
kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
3)
Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga
hari kiamat.[4]
c.
Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan
pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran,
selanjutnya aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang
moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin
Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits, yang
berpendapat bahwa bagaimanapun besarnya dosa seseorang kemungkinan mendapat
ampunan dari Tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok
Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun
seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[5]
3.
Aliran Syi’ah
a.
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran
Qadariyah
Arti
Syi’ah dalam bahasa Arab adalah pengikut. Sedangkan arti “kaum Syi’ah” menurut
istilah yang dipakai dalam lingkungan umat Islam ialah kaum yang beri’tiqad
bahwa saidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti nabi,
karena nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah saidina ‘Ali.[6]
Terdapat
dua pendapat mengenai latar belakang munculnya aliran Syi’ah, yaitu:
1)
Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
2)
Menurut Mongomary Watt
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah,
pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali, kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di
sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah
kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah
pertama pada pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di
Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud
persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam
perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus
jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan
usia sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara
historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali,
pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya,
menjadi khalifah kedua yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman
terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai anti
depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada
tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah
ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan
membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya
adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan
Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya
perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap
sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali
Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah. Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai
reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat
dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian
(firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada
kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij
yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri
sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga
muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada
berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perkembangannya hadir
sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri. Dalam
perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak
perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah
itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun
mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah
secara menyeluruh.
b.
Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh
penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :
1) At Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu ada, Maha esa,
tunggal, tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya
sifat-sifat Allah.
2) Al
‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak
melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat
zalim.
3) An Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda
dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah
nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
4) Al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan
dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud,
dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
5) Al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat
percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti
terjadi.
4.
Aliran Qadariyah
a.
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran
Qadariyah
Lafadz Qadariyah berakar dari qadara yang dapat berarti memutuskan dan
memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu
kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan
penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan
perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai
qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.[7]
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran
tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga
Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan
keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu
mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam
perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada
dan qadar Allah SWT.
Aliran
ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan
berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa
menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap
hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya
logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan
sebaliknya.[8]
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al
Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
b.
Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul
Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1)
Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin,
tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2)
Allah swt. tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan
manusialah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima
pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk
(siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu
pula maka Allah berhak disebut adil.
3)
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam
arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, qudrat, hayat,
mendengar dan melihat yang bukan dengan zatnya sendiri. Menurut mereka Allah
swt. itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya
sendiri.
4)
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab,
katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau
buruk.[9]
5. Aliran Jabariyah
a.
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran
Qadariyah
Nama
Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan
menurut As-syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah swt. Dalam
istilah Inggris paham jabariyah disebut fatalisme atau predestination, yaitu
paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada
dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia
dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi
terikat pada kehendak mutlak Tuhan. oleh karena itu aliran Jabariyah ini
menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan,
tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada
sejak sebalum agama Islam datang ke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang
diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup
mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu
itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan
menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah
kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di Irak, jabariyah di Khurasan.
Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam
perkembangannya aliran ini di sebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan. Karena itu
aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Kaum Jabariyah ini terpecah menjadi 3nfirqah, yaitu:
1)
Jahmiyah, yang dikepalai oleh Jahm bin Shafwan.
2)
Najjariyah, yang dikepalai oleh Husain bin Muhammad an Najjar.
3)
Dlirariyah, yang dikepalai oleh Dlirar bin Umar.[10]
6.
Aliran Mu’tazilah
a.
Pengertian dan latar belakang munculnya Mu’tazilah
Lafazh Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal
yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang
dari luar mu’tazilah karena pendirinya Washil bin Atha’ tidak sependapat dan
memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya,
nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai
nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah
lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan
mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya,
aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni
diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan
diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada
peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari
sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih
untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
b.
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi
pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yang dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf
:
1)
At Tauhid (keesaan Allah)
2)
Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
3)
Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
4)
Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
5)
Amar ma’uruf dan Nahi mungkar.
c.
Tokoh-tokoh dan aliran-aliran Mu’tazilah
Diantara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah:
1)
Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha.
2)
Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al ‘Allaf.
3)
Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4)
Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5)
Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6)
Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeidas Salami.
7)
Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
8)
Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin Ar-rasy.
9)
Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10)
Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11)
Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al Khayath.
12)
Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
13)
Aliran-aliran lain yang banyak lagi.[11]
7.
Ahlussunah Wal- Jamaah
a.
Pengertian dan para tokoh serta pemikiran-pemikiran Ahlussunah Wal-
Jamaah
Ahlussunnah
berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jamaah berarti
sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah
(ittikad) nabi dan para sahabat beliau.
Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di
bedakan menjadi dua pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian
umum adalah lawan kelompok Syiah. Dalam pengertian
ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan
Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan
Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Aliran ini muncul sebagai reaksi
setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
b.
Tokoh Ahlussunah Wal- Jamaah
Tokoh utama
yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu
Mansur al Maturidi.
1) Abu al Hasan al Asy’ari
a) Pokok-pokok pemikirannya
(1) Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya Tuhan
memiliki sifat sebagaiman disebut di dalam Alqur’an, yang disebut sebagai
sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat Tuhan. Sifat-sifat itu
bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
(2) Al-Qur’an, Manurutnya al-Quran
adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
(3) Melihat Tuhan, menurutnya Tuhan
dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
(4) Perbuatan Manusia. Menurutnya
perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu
sendiri.
(5) Keadilan Tuhan, Menurutnya Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab
semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan maha kuasa atas
segalanya.
(6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya
tidaklah kafir dan tetap mukmin.[12]
1) Abu manshur Al-Maturidi
a)Pokok-pokok pemikirannya :
(1) Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan
dengan al Asy’ari
(2) Perbuatan
Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu
sendiri, dan bukan merupakan perbuatanTuhan.
(3) Al Qur’an. Pendapatnya sejalan
dengan al Asy’ari
(4) Kewajiban Tuhan. Menurutnya, Tuhan
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
(5) Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya
sejalan dengan al Asy’ari
(6) Janji Tuhan. Menurutnya, janji
pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji Tuhan yang tidak
mungkin di pungkirinya.[13]
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai
pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu
dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan
bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah bukanlah sesempit yang dipahami
pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut
yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya
pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada
al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut
yang paling baik tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian
sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia
mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan
peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa
menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada
kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan
manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta
Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010
Asmuni, M. Yusran, Ilmu
Tauhid, Jakarta :RajaGrafindo Persada, 1996
Nata, Abuddin, Ilmu
kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
Zainuddin, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1992
[1] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, (
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995) hlm. 29
[2] M. Yusran
Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta :RajaGrafindo Persada,
1996) hlm.102
[3] Ibid. hlm.104
[4] Ibid. hlm.106
[5] Ibid. hlm.108
[6] Sirajuddin Abbas, I’tiqad
Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru,
2010) hlm. 93
[10] Sirajuddin Abbas, I’tiqad
Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah Baru,
2010) hlm. 277
izin copy
BalasHapusizin copy terimakasih kak
BalasHapusIzin copy
BalasHapus