Social Icons

Senin, 03 Juni 2024

AYAT-AYAT TENTANG ORIENTASI PENDIDIKAN

 



AYAT-AYAT TENTANG ORIENTASI PENDIDIKAN

(QS. Ali Imran: 104 dan 110, QS. Ar-Ra’du: 25)

 

A.    Teks dan Terjemah Qs. Ali Imran: 104 dan 110, Qs. Ar-Ra’du: 25

1.      Qs. Ali Imran: 104

 

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  

Artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.[1]

 

2.      Qs. Ali Imran: 110

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  

Artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[2]

 

3.      Qs. Ar-Ra’du: 25

tûïÏ%©!$#ur tbqàÒà)Ztƒ yôgtã «!$# .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÉ)»sVÏB šcqãèsÜø)tƒur !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& Ÿ@|¹qムtbrßÅ¡øÿãƒur Îû ÇÚöF{$#   y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 èpoY÷è¯=9$# öNçlm;ur âäþqß Í#¤$!$# ÇËÎÈ  

Artinya:

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).[3]

 

B.     Kosa Kata

1.      Yad’ûna bqããôtƒ (Ali Imran: 104)

Secara etimologis, yad’ûna adalah kata yang berasal dari da’â, yad’û, da’watan yang berarti menyeru atau mengajak. [4] Melalui ayat ini (104) kaum Muslimin diperintahkan untuk menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar.

2.      Ta’murûna brâßDù's?  dan cöqyg÷Ys?u (Ali Imran: 110)

Secara bahasa, kata ta’murûna berarti menyuruh, dan merupakan kata yang berasal dari amara, ya’muru, amran.[5] Sedangkan kata tanhauna berarti melarang atau mencegah, dan berasal dari kata nahâ, yanhâ, nahyan.[6] Dengan demikian kata ta’murûna pada ayat 110 menerangkan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik yang senantiasa menyuruh untuk berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar.

3.      Sûu ad-Dâr #¤$!$# äþqß (Ar-Ra’du: 25)

Secara kebahasaan, sûu ad-dâr berarti tempat kediaman yang buruk, dan yang dimaksud dengan sûu ad-dâr dalam ayat ini adalah neraka jahannam. Seperti dijelaskan ayat di atas, sûu ad-dâr diperuntukkan bagi orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya untuk dihubungkan. Sûu ad-dâr juga diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan perusakan di muka bumi. Di dalamnya, orang-orang itu akan mendapat siksa atas perbuatannya melawan ajaran Allah yang mereka lakukan semasa hidup di dunia.[7]

 

C.    Asbabun Nuzul

  Kata asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[8] Ilmu asbabun nuzul ini merupakan kajian historis yang melatar belakangi sebuah ayat itu diturunkan oleh Allah. Dalam kajian ini akan diketahui mengapa sebuah ayat itu turun.[9]

Menurut ash-Shabuni asbabun nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama. Sedangkan menurut Manna al-Qathan asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi.[10]

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa: konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat atau yang akan terjadi.[11]

Dilihat dari segi turunnya al-Qur’an maka dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu;  pertama, kelompok ayat al-Qur’an yang diturunkan tanpa sebab. Kedua, kelompok ayat yang turun karena sesuatu sebab tertentu.[12]

1.      Asbabun Nuzul Qs. Ali Imran: 104

Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban  dan kedamaian mereka.[13] Karena itu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung kembali suasana perang saudara yang sering terjadi antara kabilah Aus dan Khazraj terutama waktu perang Bu’âst dimana kabilah Aus dapat mengalahkan kabilah Khazraj. Setelah itu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing,  saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka agar jangan tergoda oleh hasutan pihak lawan dan mengajak mereka kembali kepada suasana damai dan memperkuat persaudaraan yang sudah dibina oleh Rasulullah di Madinah. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar bahwa mereka telah tertipu oleh godaan setan dan tipu muslihat musuh. Lau mereka menangis dan saling berpelukan dan kembali bersama Rasulullah, maka turunlah ayat ini.[14]

2.      Asbabun Nuzul Qs. Ali Imran: 110

Ikrimah dan Muqatil berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal dan Salim budak Abu Hudzaifah. Cerintanya adalah bahwa ada dua orang Yahudi, yaitu Malik bin ash-Shaif dan Wahb bin Yahudza berkata kepada mereka, “Sesungguhnya agama kami lebih baik daripada agama yang kalian dakwahkan kepada kami dan kami jauh lebih baik dan lebih mulia dari kalian.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.[15]

 

D.    Munasabah Ayat

1.      Qs. Ali Imran: 104

Pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan usaha Ahli Kitab untuk menjelek-jelekkan agama Islam dengan maksud menjauhkan kaum Muslimin dari Nabi Muhammad dan untuk mengaburkan orang beriman agar mereka tidak tertarik kepada agama Islam. Pada ayat-ayat ini Allah memerintahkan agar dibina kekuatan kaum Muslimin dengan memupuk persatuan hingga tidak mudah dipecah belah, dan dengan mengatur hubungan mereka satu sama lain berdasarkan tolong-menolong dan nasihat menasihati untuk memperkuat perjuangan. Selain itu Allah juga memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam yang bergerak di bidang dakwah.[16]

2.      Qs. Ali Imran: 110

Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan bahwa pada hari kiamat nanti ada dua golongan manusia yang amat berlainan nasibnya yaitu dengan muka putih berseri-seri dan yang bermuka hitam muram. Yang pertama adalah wajah kaum mukminin, sedang yang kedua adalah wajah kaum kafirin dan munafikin. Dalam ayat ini disebutkan bahwa orang-orang yang beriman adalah sebaik-baik umat di dunia, karena mereka selalu berpegang teguh pada agama Allah, menjunjung tinggi kebenaran, mengajak kepada kebaikan, dan mencegah darin kemunkaran dan senantiasa beriman kepada Allah.[17]

3.      Qs. Ar-Ra’du: 25

Pada ayat-ayat yang lalu, Allah telah menerangkan sifat-sifat ulil albab dan pahala yang diperolehnya di akhirat. Dalam ayat ini, Allah menerangkan nasib yang dialami orang-orang yang ingkar janji, orang-orang yang sifat dan kelakuan mereka sangat bertentangan dengan sifat-sifat orang yang bertakwa, dan balasan buruk bagi mereka di akhirat.[18]

 

E.     Tafsir ayat

1.      Qs. Ali Imran: 104

Allah memerintahkan umat Islam seluruhnya untuk membentuk satu umat yang tertata rapi dan bersatu padu.[19] Kata مِنْ  pada kalimat  مِنْكُمْ  (diantara kamu) menunjukkan sebagian, karena apa yang diperintahkan itu merupakan fardhu kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap orang, misalnya orang bodoh.[20] Oleh karena itu Allah memerintahkan agar ada sebagian orang diantara umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu mengajarkan kepada kebaikan, menyerukan kepada yang makruf (perbuatan baik) dan mencegah dari yang munkar (perbuatan jahat). Dengan demikian apabila ada diantara umat Islam yang bergerak di bidang dakwah maka umat Islam akan selalu damai dan terpelihara dari perpecahan dan permusuhan.

Setiap orang yang melaksanakan tugas di bidang dakwah tersebut haruslah memiliki syarat-syarat sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan menjadi contoh teladan yang menyebabkan mereka diikuti dan diteladani ilmu dan amalnya oleh umat manusia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah:

Pertama, orang tersebut hendaknya mengetahui kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah, riwayat hidup nabi Muhammad dan para khulafaur rasyidin.

Kedua, mengetahui keadaan orang yang menjadi sasaran dakwahnya, kesiapan mereka untuk menerima dakwah, serta akhlaknya. Dengan kata lain, mengetahui keadaan masyarakat yang didakwahinya.

Ketiga, mengetahui agama dan mazhab yang dianut oleh masyarakatnya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan mudah hal-hal yang batil. Hal yang demikian didasarkan pada pandangan bahwa manusia sekalipun tidak tampak kesesatan padanya, tidak berarti ia akan berpaling pada kebenaran yang disampaikan pada lainnya. Dengan kata lain, bahwa kegiatan dakwah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok tertentu, yaitu orang-orang yang mengetahui hukum dan  memahaminya, serta orang-orang yang dapat menegakkan hukum Allah untuk kemaslahatan hamba pada setiap zaman dan tempat berdasarkan pada pengetahuan mereka, baik di masjid-masjid, tempat-tempat ibadah serta hal-hal yang dianggap menguntungkan bagi masyarakat umum. Maka jika mereka melakukan semuanya itu, maka akan terciptalah kebaikan pada semua umat, dan tidak akan terjadi keburukan, akan menjadi lembut hatinya, sehingga mereka saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[21] 

Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kukuh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluknya.

Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga terwujud persatuan yang kukuh dan kuat. Dari persatuan yang kukuh dan kuat tersebut akan timbullah kemampuan yang besar untuk mecapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.[22]

 

2.      Qs. Ali Imran: 110

Dalam tafsir Fathul Qadir  kalimat >p¨Bé& ŽöyzNçGZä.   (Kamu adalah umat yang terbaik) merupakan kalimat permulaan yang mencakup keterangan tentang kondisi umat ini dalam keutamaannya terhadap umat-umat lainnya. Ada yang mengatakan bahwa pada kalimat NçGZä. berfungsi sempurna, yakni: Wujidtum wa khuliqtum khaira ummathin (kalian diadakan dan diciptakan sebagai umat yang terbaik). [23] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah mengenai ayat di atas, ia berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka masuk Islam.”[24] Ini menunjukkan bahwa umat Islam ini adalah umat yang terbaik secara mutlak.

Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukmin agar senantiasa memelihara sifat-sifat utama tersebut dan agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar berlandaskan iman yang kokoh kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya.

Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman. dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah dalam Qs. Al-Hujurât: 6

$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ  

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.[25]

 

 

Setidaknya ada tiga sifat utama yang menunjukkan kelebihan umat Islam dari umat lainnya, yaitu amar makruf, nahi mungkar dan iman kepada Allah dengan iman yang benar. Semua sifat itu telah dimiliki oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka, karena itu mereka menjadi  kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat, mereka telah dapat menjadikan seluruh  tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang terpecah belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan serta menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong mereka untuk terus berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.[26]

 

3.      Qs. Ar-Ra’du: 25

Setiap manusia sejak semula telah membuat janji dengan Allah, akan tunduk kepada perintah-Nya dan setia menghentikan larangan-Nya.[27] Ada beberapa perjanjian antara Allah dan manusia, diantaranya adalah manusia wajib mengakui kemahaesaan Allah serta kodrat dan iradat-Nya, beriman kepada para nabi-Nya, dan wahyu yang diturunkan-Nya, dan sebagainya. Pada ayat ini Allah menguraikan tentang orang orang yang melakukan keburukan dan kebatilan serta nasib yang menanti para pelaku keburukan tersebut.[28] Allah telah memberikan bukti-bukti dan dalil-dalil yang nyata atas semua itu. Akan tetapi, pada kenyataannya ada diantara manusia yang telah merusak perjanjian tersebut, dalam artian bahwa:

a.       Mereka tidak memperhatikan janji-janji tersebut, sehingga mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban yang merupakan akibat yang timbul dari perjanjian itu. Misalnya, bila mereka benar-benar berpegang teguh kepada tauhid, mereka tentunya tidak akan beribadah kepada selain Allah. Allah memberikan bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan-Nya. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikan sehingga mereka tetap menentang landasan tauhid tersebut. Mereka senantiasa menganut kepercayaan syirik, mempercayai dan menyembah selain Allah.

b.      Pada mulanya mereka memperhatikan janji-janji yang telah mereka ikrarkan dan dalil-dalil yang telah diberikan. Mereka telah mengakui dan meyakini kebenarannya, tetapi kemudian mereka menyangkal kebenaran itu, dan tidak lagi bersedia mengamalkannya.

Orang yang suka memungkiri dan menyalahi janji yang telah diikrarkan dinamakan munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ 

Artinya:

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi Muhammad bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga macam: apabila ia berkata, ia selalu bohong, apabila ia berjanji selalu ingkar, dan apabila ia dipercayai berkhianat.” (HR. Muslim, at-Tirmizi dan an-Nasa’i)

 

 Dalam menafsirkan ayat 25 ini, Abu al-Aliyah, seorang mufassir, menyebutkan bahwa ada enam macam sifat orang-orang munafik yang mereka tampakkan jika mereka merasa memiliki posisi yang kuat dalam satu masyarakat, yaitu:

1)      Apabila berbicara, mereka berbohong.

2)      Apabila berjanji, mereka ingkar.

3)      Apabila diberi kepercayaan, mereka berkhianat.

4)      Suka mengingkari janji Allah yang telah mereka ikrarkan sebelumnya.

5)      Suka memutuskan sillaturrahim yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan dipelihara seperti hubungan dengan para Nabi-Nya yang telah datang membawa kebenaran. Mereka hanya beriman kepada sebagian dari para nabi tersebut, dan kafir terhadap sebagian yang lainnya.

 Mereka juga memutuskan sillaturrahim antara sesama manusia terutama dengan orang-orang mukmin, tetapi mereka tetap menjaga hubungan dan memberikan bantuan kepada orang-orang kafir. Diantara contohnya adalah mereka memghalang-halangi setiap usaha yang menuju kepada pembinaan kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Mereka tidak sudi melihat terwujudnya persatuan dan kesatuan antara orang-orang mukmin, seperti yang dianjurkan Rasulullah:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya:

Orang mukmin terhadap orang mukmin lain haruslah seperti suatu bangunan, bagian yang satu menguatkan bagian yang lain. (HR. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Abu Musa al-Asy’ari)

 

Dan sabda Rasulullah:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ  فِيْ تَرَاحُمِهِمْ  وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Artinya:

Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam. (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu, umat Islam haruslah hati-hati dalam menjaga kesatuan dan persatuan antara mereka, jangan dimasuki hasutan dan usaha-usaha kaum munafik untuk memecah belah persatuan itu.

c.       Mereka suka berbuat kerusakan di bumi, baik berupa kezaliman yang mereka lakukan terhadap diri sendiri maupun kezaliman yang mereka lakukan terhadap hak milik orang lain dengan jalan yang tidak sah, ataupun dengan menimbulkan fitnah dan bencana dalam masyarakat muslimin, dan mengobarkan permusuhan dan peperangan terhadap mereka.

Pada akhir ayat, Allah menetapkan hukuman yang layak untuk ditimpakan kepada orang munafik mengingat jahatnya kelakuan dan perbuatan-perbuatan merek. Hukuman tersebut ialah berupa laknat Allah, yaitu menjauhkan mereka dari rahmat-Nya, sehingga mereka tersingkir dari kebaikan dunia dan akhirat. Mereka akan menemui kesudahan yang sangat buruk, yaitu azab neraka jahannam, sebagai balasan dari kejahatan dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.[29]

 


 

F.     Simpulan

Pada Surat Ali Imran ayat 104 merupakan petunjuk dari Allah kepada kaum mukmin, yakni hendaknya di antara mereka ada segolongan orang yang mau berdakwah dan mengajak manusia kepada kebaikan. Dalam mengarungi lautan kehidupan di dunia ada dua hal yang manusia tidak pernah sunyi darinya, dimana manusia mempunyai pilihan atas dua hal tersebut yaitu kebaikan dan disisi lain yang disebut kemunkaran.

Pada Surat Ali Imran ayat 110 disebutkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik. Mengingat bahwa kebaikan merupakan idaman bagi semua manusia karena dengan kebaikan itu berujung kepada kebahagian, sedangkan kemunkaran merupakan pangkal dari penderitaan dan kesengsaraan, maka Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur telah memberikan akal dan pikiran bagi manusia untuk memilih satu diantara keduanya dengan menggunakan tolok ukur syari'at. Dimana umat muslim, untuk itu mendapatkan perintah untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Untuk bagaimana dapat terciptanya kebaikan dan dijauhinya kemunkaran tersebut, lahirlah perintah untuk melakukan anjuran untuk berbuat baik dan meninggalkan kemunkaran yang dikenal sebagai amar ma'ruf nahi munkar.

Dengan adanya peran amar ma’ruf nahi munkar yang dialamatkan kepada setiap individu maupun kepada masyarakat secara luas, maka keburukan, kerusakan dan kemudharatan tersebut dapat ditiadakan atau diminimalisir, serta sebaliknya kebaikan dan kemaslahatan akan dapat diciptakan. Sehingga peran amar ma’ruf nahi munkar ini sangatlah besar dirasakan manfaatnya bagi seluruh hamba Allah Yang Maha Pemurah.

Pada Surat Ar-Ra’du ayat 25 diterangkan bahwa orang munafik mempunyai sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat orang mukmin, antara lain melanggar janji Allah yang telah mereka ikrarkan, serta tidak memelihara sillaturrahim dan suka berbuat kerusukan.

 

 

Daftar Pustaka

Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad  dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar,  Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011.

An-Nakhrawie, Asrifin, Ringkasan Asbabu  Nuzul, Surabaya: Ikhtiar, 2011.

Anwar, Rosihon, Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, terj. Amir Hamzah Fachrudin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, jil. 2.

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Depok, Gema Insani, 2013, jil. 2.

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Wasith, terj. Muhtadi, (Depok, Gema Insani, 2012, jil. 1.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,2010, jil. 2.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI,2010, jil. 5.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2010.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Depok: Gema Insani, 2015, jil.5.

Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, terj. M.Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003.

Listiawati, Tafsir Ayat Pendidikan, Depok: Kencana, 2017.

Shihab, M., Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2009, vol. 6.

Usman, Ulumul Qur’an,  Yogyakarta: Teras, 2009.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2010.

http://soranegino18.multiply.com/journal/



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2010), hlm. 63.

[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 64.

[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 202.

[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2010), hlm.127.

[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia..., hlm.48.

[6] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia..., hlm.471.

[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,2010), jil. 5, hlm.100.

[8] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 60.

[9] Asrifin An-Nakhrawie, Ringkasan Asbabu  Nuzul, (Surabaya: Ikhtiar, 2011), hlm.4.

[10] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an..., hlm. 60-61.

[11] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an..., hlm. 61.

[12] Usman, Ulumul Qur’an,  (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 107.

[13]http://soranegino18.multiply.com/journal/item/40/Kajian_Ayat_Tugas_Tutorial_MKD diakses 18 September 2019

[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,2010), jil. 2, hlm.14-15.

[15] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Depok, Gema Insani, 2013), jil. 2, hlm.373.

[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,  jil. 2, hlm.18.

[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,  jil. 2, hlm.20.

[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,  jil. 5, hlm.100.

[19] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, terj. Muhtadi, (Depok, Gema Insani, 2012), jil. 1, hlm.202.

[20] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad  al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar,  (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), hlm. 259.

[21] Listiawati, Tafsir Ayat Pendidikan, (Depok: Kencana, 2017), hlm.181-182.

[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya..., jil. 2, hlm.16.

[23] Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, terj. Amir Hamzah Fachrudin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jil. 2, hlm.480.

[24] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, terj. M.Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003), hlm. 110.

[25] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 517.

[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya..., jil. 2, hlm.20-21.

[27] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), jil.5, hlm.66.

[28] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. 6,  hlm. 582.

[29] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,  jil. 5, hlm.100-102.


0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates