AYAT-AYAT TENTANG ORIENTASI PENDIDIKAN
(QS. Ali Imran: 104 dan 110, QS. Ar-Ra’du:
25)
A. Teks
dan Terjemah Qs. Ali Imran: 104 dan 110, Qs. Ar-Ra’du: 25
1. Qs. Ali Imran: 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.[1]
2. Qs. Ali Imran: 110
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.[2]
3. Qs. Ar-Ra’du: 25
tûïÏ%©!$#ur tbqàÒà)Zt yôgtã «!$# .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÉ)»sVÏB cqãèsÜø)tur !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& @|¹qã tbrßÅ¡øÿãur Îû ÇÚöF{$# y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 èpoY÷è¯=9$# öNçlm;ur âäþqß Í#¤$!$# ÇËÎÈ
Artinya:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).[3]
B. Kosa
Kata
1. Yad’ûna
bqããôt (Ali Imran: 104)
Secara etimologis, yad’ûna adalah
kata yang berasal dari da’â, yad’û, da’watan yang berarti menyeru atau mengajak. [4]
Melalui ayat ini (104) kaum Muslimin diperintahkan untuk menyeru kepada
kebaikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar.
2. Ta’murûna
brâßDù's? dan cöqyg÷Ys?u (Ali Imran: 110)
Secara bahasa, kata ta’murûna berarti
menyuruh, dan merupakan kata yang berasal dari amara, ya’muru, amran.[5]
Sedangkan kata tanhauna berarti melarang atau mencegah, dan berasal dari
kata nahâ, yanhâ, nahyan.[6]
Dengan demikian kata ta’murûna pada ayat 110 menerangkan bahwa umat
Islam merupakan umat terbaik yang senantiasa menyuruh untuk berbuat yang makruf
dan mencegah perbuatan yang munkar.
3. Sûu
ad-Dâr #¤$!$# äþqß (Ar-Ra’du: 25)
Secara kebahasaan, sûu ad-dâr berarti
tempat kediaman yang buruk, dan yang dimaksud dengan sûu ad-dâr dalam
ayat ini adalah neraka jahannam. Seperti dijelaskan ayat di atas, sûu ad-dâr
diperuntukkan bagi orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan
teguh dan memutuskan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya untuk dihubungkan. Sûu
ad-dâr juga diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan perusakan di muka
bumi. Di dalamnya, orang-orang itu akan mendapat siksa atas perbuatannya
melawan ajaran Allah yang mereka lakukan semasa hidup di dunia.[7]
C. Asbabun
Nuzul
Kata asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbabun
nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya al-Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang secara khusus digunakan
bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[8] Ilmu
asbabun nuzul ini merupakan kajian historis yang melatar belakangi sebuah ayat
itu diturunkan oleh Allah. Dalam kajian ini akan diketahui mengapa sebuah ayat
itu turun.[9]
Menurut ash-Shabuni asbabun nuzul
adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa
ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa
pertanyaaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan
urusan agama. Sedangkan menurut Manna al-Qathan asbabun nuzul adalah
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengan waktu
peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang
diajukan kepada nabi.[10]
Bentuk-bentuk peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa:
konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan suku
Khazraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami
shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah
seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat
atau yang akan terjadi.[11]
Dilihat dari segi turunnya
al-Qur’an maka dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu; pertama, kelompok ayat al-Qur’an yang
diturunkan tanpa sebab. Kedua, kelompok ayat yang turun karena sesuatu sebab
tertentu.[12]
1. Asbabun Nuzul Qs. Ali Imran: 104
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam
ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun
selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad
mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan
Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika
Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama
dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais
tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka.[13]
Karena itu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan
Khazraj untuk menyinggung kembali suasana perang saudara yang sering terjadi
antara kabilah Aus dan Khazraj terutama waktu perang Bu’âst dimana kabilah Aus
dapat mengalahkan kabilah Khazraj. Setelah itu masing-masing suku terpancing
dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat
senjata, dan untung Rasulullah yang mendengar perestiwa tersebut segera datang
dan menasehati mereka agar jangan tergoda oleh hasutan pihak lawan dan mengajak
mereka kembali kepada suasana damai dan memperkuat persaudaraan yang sudah
dibina oleh Rasulullah di Madinah. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka
sadar bahwa mereka telah tertipu oleh godaan setan dan tipu muslihat musuh. Lau
mereka menangis dan saling berpelukan dan kembali bersama Rasulullah, maka
turunlah ayat ini.[14]
2. Asbabun Nuzul Qs. Ali Imran: 110
Ikrimah dan Muqatil berkata, “Ayat
ini turun berkaitan dengan Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal dan
Salim budak Abu Hudzaifah. Cerintanya adalah bahwa ada dua orang Yahudi, yaitu
Malik bin ash-Shaif dan Wahb bin Yahudza berkata kepada mereka, “Sesungguhnya
agama kami lebih baik daripada agama yang kalian dakwahkan kepada kami dan kami
jauh lebih baik dan lebih mulia dari kalian.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.[15]
D. Munasabah
Ayat
1. Qs. Ali Imran: 104
Pada ayat-ayat sebelumnya
diterangkan usaha Ahli Kitab untuk menjelek-jelekkan agama Islam dengan maksud
menjauhkan kaum Muslimin dari Nabi Muhammad dan untuk mengaburkan orang beriman
agar mereka tidak tertarik kepada agama Islam. Pada ayat-ayat ini Allah
memerintahkan agar dibina kekuatan kaum Muslimin dengan memupuk persatuan
hingga tidak mudah dipecah belah, dan dengan mengatur hubungan mereka satu sama
lain berdasarkan tolong-menolong dan nasihat menasihati untuk memperkuat
perjuangan. Selain itu Allah juga memerintahkan agar ada sekelompok orang dari
umat Islam yang bergerak di bidang dakwah.[16]
2. Qs. Ali Imran: 110
Pada ayat-ayat yang lalu
diterangkan bahwa pada hari kiamat nanti ada dua golongan manusia yang amat
berlainan nasibnya yaitu dengan muka putih berseri-seri dan yang bermuka hitam
muram. Yang pertama adalah wajah kaum mukminin, sedang yang kedua adalah wajah
kaum kafirin dan munafikin. Dalam ayat ini disebutkan bahwa orang-orang yang
beriman adalah sebaik-baik umat di dunia, karena mereka selalu berpegang teguh
pada agama Allah, menjunjung tinggi kebenaran, mengajak kepada kebaikan, dan
mencegah darin kemunkaran dan senantiasa beriman kepada Allah.[17]
3. Qs. Ar-Ra’du: 25
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah
telah menerangkan sifat-sifat ulil albab dan pahala yang diperolehnya di
akhirat. Dalam ayat ini, Allah menerangkan nasib yang dialami orang-orang yang
ingkar janji, orang-orang yang sifat dan kelakuan mereka sangat bertentangan
dengan sifat-sifat orang yang bertakwa, dan balasan buruk bagi mereka di
akhirat.[18]
E. Tafsir
ayat
1. Qs. Ali Imran: 104
Allah memerintahkan umat Islam
seluruhnya untuk membentuk satu umat yang tertata rapi dan bersatu padu.[19]
Kata مِنْ pada kalimat مِنْكُمْ
(diantara kamu) menunjukkan sebagian, karena apa yang diperintahkan itu
merupakan fardhu kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula
layak bagi setiap orang, misalnya orang bodoh.[20]
Oleh karena itu Allah memerintahkan agar ada sebagian orang diantara umat Islam
yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu mengajarkan kepada kebaikan,
menyerukan kepada yang makruf (perbuatan baik) dan mencegah dari yang munkar
(perbuatan jahat). Dengan demikian apabila ada diantara umat Islam yang
bergerak di bidang dakwah maka umat Islam akan selalu damai dan terpelihara
dari perpecahan dan permusuhan.
Setiap orang yang melaksanakan
tugas di bidang dakwah tersebut haruslah memiliki syarat-syarat sehingga ia
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan menjadi contoh teladan yang
menyebabkan mereka diikuti dan diteladani ilmu dan amalnya oleh umat manusia.
Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah:
Pertama, orang tersebut hendaknya
mengetahui kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah, riwayat hidup nabi Muhammad dan
para khulafaur rasyidin.
Kedua, mengetahui keadaan orang
yang menjadi sasaran dakwahnya, kesiapan mereka untuk menerima dakwah, serta
akhlaknya. Dengan kata lain, mengetahui keadaan masyarakat yang didakwahinya.
Ketiga, mengetahui agama dan
mazhab yang dianut oleh masyarakatnya. Dengan cara demikian dapat diketahui
dengan mudah hal-hal yang batil. Hal yang demikian didasarkan pada pandangan
bahwa manusia sekalipun tidak tampak kesesatan padanya, tidak berarti ia akan
berpaling pada kebenaran yang disampaikan pada lainnya. Dengan kata lain, bahwa
kegiatan dakwah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok tertentu, yaitu
orang-orang yang mengetahui hukum dan
memahaminya, serta orang-orang yang dapat menegakkan hukum Allah untuk
kemaslahatan hamba pada setiap zaman dan tempat berdasarkan pada pengetahuan
mereka, baik di masjid-masjid, tempat-tempat ibadah serta hal-hal yang dianggap
menguntungkan bagi masyarakat umum. Maka jika mereka melakukan semuanya itu,
maka akan terciptalah kebaikan pada semua umat, dan tidak akan terjadi
keburukan, akan menjadi lembut hatinya, sehingga mereka saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.[21]
Menganjurkan berbuat kebaikan saja
tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang
buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus
mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu
kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak
akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kukuh dan kuat tidak
akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan
itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama
terpelihara melainkan dengan adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam
itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna
sehingga banyak pemeluknya.
Dengan dorongan agama akan
tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga terwujud persatuan yang kukuh dan
kuat. Dari persatuan yang kukuh dan kuat tersebut akan timbullah kemampuan yang
besar untuk mecapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi
syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.[22]
2. Qs. Ali Imran: 110
Dalam tafsir Fathul Qadir kalimat >p¨Bé& öyzNçGZä.
(Kamu adalah umat yang terbaik)
merupakan kalimat permulaan yang mencakup keterangan tentang kondisi umat ini
dalam keutamaannya terhadap umat-umat lainnya. Ada yang mengatakan bahwa pada
kalimat NçGZä. berfungsi sempurna, yakni: Wujidtum
wa khuliqtum khaira ummathin (kalian diadakan dan diciptakan sebagai umat
yang terbaik). [23]
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah mengenai ayat di atas, ia berkata:
“Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang membawa
mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka masuk
Islam.”[24]
Ini menunjukkan bahwa umat Islam ini adalah umat yang terbaik secara mutlak.
Ayat ini mengandung suatu dorongan
kepada kaum mukmin agar senantiasa memelihara sifat-sifat utama tersebut dan
agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi untuk melakukan amar makruf
dan nahi mungkar berlandaskan iman yang kokoh kepada Allah. Semua sifat itu
telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah menjadi darah daging
dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya.
Dalam waktu yang singkat mereka
telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam,
hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka
sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu berada dalam suasana kacau
dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman.
dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan
mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di
hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah dalam Qs.
Al-Hujurât: 6
$yJ¯RÎ) cqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?öt (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar.[25]
Setidaknya ada tiga sifat utama
yang menunjukkan kelebihan umat Islam dari umat lainnya, yaitu amar makruf,
nahi mungkar dan iman kepada Allah dengan iman yang benar. Semua sifat itu
telah dimiliki oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad, dan telah menjadi darah
daging dalam diri mereka, karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat,
mereka telah dapat menjadikan seluruh
tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan
tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat
yang terpecah belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang
antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan serta
menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar
makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu
mendorong mereka untuk terus berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.[26]
3. Qs. Ar-Ra’du: 25
Setiap
manusia sejak semula telah membuat janji dengan Allah, akan tunduk kepada
perintah-Nya dan setia menghentikan larangan-Nya.[27]
Ada beberapa perjanjian antara Allah dan manusia, diantaranya adalah manusia
wajib mengakui kemahaesaan Allah serta kodrat dan iradat-Nya, beriman kepada
para nabi-Nya, dan wahyu yang diturunkan-Nya, dan sebagainya. Pada ayat ini
Allah menguraikan tentang orang orang yang melakukan keburukan dan kebatilan
serta nasib yang menanti para pelaku keburukan tersebut.[28]
Allah telah memberikan bukti-bukti dan dalil-dalil yang nyata atas semua itu.
Akan tetapi, pada kenyataannya ada diantara manusia yang telah merusak
perjanjian tersebut, dalam artian bahwa:
a. Mereka tidak memperhatikan
janji-janji tersebut, sehingga mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban yang
merupakan akibat yang timbul dari perjanjian itu. Misalnya, bila mereka
benar-benar berpegang teguh kepada tauhid, mereka tentunya tidak akan beribadah
kepada selain Allah. Allah memberikan bukti-bukti yang nyata tentang
kemahaesaan-Nya. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikan sehingga mereka tetap
menentang landasan tauhid tersebut. Mereka senantiasa menganut kepercayaan
syirik, mempercayai dan menyembah selain Allah.
b. Pada mulanya mereka memperhatikan
janji-janji yang telah mereka ikrarkan dan dalil-dalil yang telah diberikan.
Mereka telah mengakui dan meyakini kebenarannya, tetapi kemudian mereka
menyangkal kebenaran itu, dan tidak lagi bersedia mengamalkannya.
Orang yang suka memungkiri dan menyalahi
janji yang telah diikrarkan dinamakan munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Artinya:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi Muhammad
bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga macam: apabila ia berkata, ia
selalu bohong, apabila ia berjanji selalu ingkar, dan apabila ia dipercayai
berkhianat.” (HR. Muslim, at-Tirmizi dan
an-Nasa’i)
Dalam menafsirkan ayat 25 ini, Abu al-Aliyah,
seorang mufassir, menyebutkan bahwa ada enam macam sifat orang-orang munafik
yang mereka tampakkan jika mereka merasa memiliki posisi yang kuat dalam satu
masyarakat, yaitu:
1) Apabila berbicara, mereka
berbohong.
2) Apabila berjanji, mereka ingkar.
3) Apabila diberi kepercayaan, mereka
berkhianat.
4) Suka mengingkari janji Allah yang
telah mereka ikrarkan sebelumnya.
5) Suka memutuskan sillaturrahim yang
diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan dipelihara seperti hubungan dengan
para Nabi-Nya yang telah datang membawa kebenaran. Mereka hanya beriman kepada
sebagian dari para nabi tersebut, dan kafir terhadap sebagian yang lainnya.
Mereka juga memutuskan sillaturrahim antara
sesama manusia terutama dengan orang-orang mukmin, tetapi mereka tetap menjaga
hubungan dan memberikan bantuan kepada orang-orang kafir. Diantara contohnya
adalah mereka memghalang-halangi setiap usaha yang menuju kepada pembinaan
kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Mereka tidak sudi melihat
terwujudnya persatuan dan kesatuan antara orang-orang mukmin, seperti yang
dianjurkan Rasulullah:
الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Artinya:
Orang mukmin terhadap orang mukmin lain haruslah seperti
suatu bangunan, bagian yang satu menguatkan bagian yang lain. (HR. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Abu
Musa al-Asy’ari)
Dan sabda Rasulullah:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ
تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا
اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya:
Perumpamaan orang-orang beriman
dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu
tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut
merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam. (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu, umat Islam haruslah hati-hati
dalam menjaga kesatuan dan persatuan antara mereka, jangan dimasuki hasutan dan
usaha-usaha kaum munafik untuk memecah belah persatuan itu.
c. Mereka suka berbuat kerusakan di
bumi, baik berupa kezaliman yang mereka lakukan terhadap diri sendiri maupun kezaliman
yang mereka lakukan terhadap hak milik orang lain dengan jalan yang tidak sah,
ataupun dengan menimbulkan fitnah dan bencana dalam masyarakat muslimin, dan
mengobarkan permusuhan dan peperangan terhadap mereka.
Pada
akhir ayat, Allah menetapkan hukuman yang layak untuk ditimpakan kepada orang
munafik mengingat jahatnya kelakuan dan perbuatan-perbuatan merek. Hukuman
tersebut ialah berupa laknat Allah, yaitu menjauhkan mereka dari rahmat-Nya,
sehingga mereka tersingkir dari kebaikan dunia dan akhirat. Mereka akan menemui
kesudahan yang sangat buruk, yaitu azab neraka jahannam, sebagai balasan dari
kejahatan dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.[29]
F. Simpulan
Pada Surat Ali Imran ayat
104 merupakan petunjuk dari Allah kepada kaum mukmin, yakni hendaknya di
antara mereka ada segolongan orang yang mau berdakwah dan mengajak manusia
kepada kebaikan. Dalam mengarungi lautan kehidupan di dunia ada dua hal yang
manusia tidak pernah sunyi darinya, dimana manusia mempunyai pilihan atas dua
hal tersebut yaitu kebaikan dan disisi lain yang disebut kemunkaran.
Pada Surat Ali Imran ayat 110
disebutkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik. Mengingat bahwa kebaikan
merupakan idaman bagi semua manusia karena dengan kebaikan itu berujung kepada
kebahagian, sedangkan kemunkaran merupakan pangkal dari penderitaan dan
kesengsaraan, maka Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur telah memberikan
akal dan pikiran bagi manusia untuk memilih satu diantara keduanya dengan
menggunakan tolok ukur syari'at. Dimana umat muslim, untuk itu mendapatkan
perintah untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Untuk bagaimana
dapat terciptanya kebaikan dan dijauhinya kemunkaran tersebut, lahirlah
perintah untuk melakukan anjuran untuk berbuat baik dan meninggalkan kemunkaran
yang dikenal sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Dengan adanya peran amar ma’ruf
nahi munkar yang dialamatkan kepada setiap individu maupun kepada masyarakat
secara luas, maka keburukan, kerusakan dan kemudharatan tersebut dapat
ditiadakan atau diminimalisir, serta sebaliknya kebaikan dan kemaslahatan akan
dapat diciptakan. Sehingga peran amar ma’ruf nahi munkar ini sangatlah besar
dirasakan manfaatnya bagi seluruh hamba Allah Yang Maha Pemurah.
Pada Surat Ar-Ra’du ayat 25
diterangkan bahwa orang munafik mempunyai sifat-sifat yang bertentangan dengan
sifat-sifat orang mukmin, antara lain melanggar janji Allah yang telah mereka
ikrarkan, serta tidak memelihara sillaturrahim dan suka berbuat kerusukan.
Daftar Pustaka
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad dan Jalaluddin Abdurrahman bin
Abi Bakar as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011.
An-Nakhrawie,
Asrifin, Ringkasan Asbabu Nuzul,
Surabaya: Ikhtiar, 2011.
Anwar,
Rosihon, Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Asy-Syaukani, Tafsir Fathul
Qadir, terj. Amir Hamzah Fachrudin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009,
jil. 2.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir
al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Depok, Gema Insani, 2013, jil. 2.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir
al-Wasith, terj. Muhtadi, (Depok, Gema Insani, 2012, jil. 1.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
& Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,2010, jil. 2.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
& Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI,2010, jil. 5.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2010.
Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Depok: Gema Insani, 2015, jil.5.
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 8, terj. M.Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2003.
Listiawati,
Tafsir Ayat Pendidikan, Depok: Kencana, 2017.
Shihab, M., Quraish Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2009, vol. 6.
Usman,
Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras,
2009.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab
Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2010.
http://soranegino18.multiply.com/journal/
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Bandung: Diponegoro, 2010), hlm. 63.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,
hlm. 64.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,
hlm. 202.
[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:
Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2010), hlm.127.
[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia..., hlm.48.
[6] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia..., hlm.471.
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,
(Jakarta: Departemen Agama RI,2010), jil. 5, hlm.100.
[8] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka
Setia, 2013), hlm. 60.
[9] Asrifin An-Nakhrawie, Ringkasan Asbabu Nuzul, (Surabaya: Ikhtiar, 2011), hlm.4.
[10] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an..., hlm. 60-61.
[11] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an..., hlm. 61.
[12] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 107.
[13]http://soranegino18.multiply.com/journal/item/40/Kajian_Ayat_Tugas_Tutorial_MKD
diakses 18 September 2019
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,
(Jakarta: Departemen Agama RI,2010), jil. 2, hlm.14-15.
[15] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, (Depok, Gema Insani, 2013), jil. 2, hlm.373.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya..., jil. 2, hlm.18.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya..., jil. 2, hlm.20.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya..., jil. 5, hlm.100.
[19] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, terj.
Muhtadi, (Depok, Gema Insani, 2012), jil. 1, hlm.202.
[20] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi
Bakar as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011),
hlm. 259.
[21] Listiawati, Tafsir Ayat Pendidikan, (Depok:
Kencana, 2017), hlm.181-182.
[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,
jil. 2, hlm.16.
[23] Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, terj. Amir
Hamzah Fachrudin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jil. 2, hlm.480.
[24] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, terj.
M.Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003), hlm. 110.
[25] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,
hlm. 517.
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,
jil. 2, hlm.20-21.
[27] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Depok: Gema Insani,
2015), jil.5, hlm.66.
[28] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. 6, hlm. 582.
[29] Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya...,
jil. 5, hlm.100-102.
0 comments:
Posting Komentar