Social Icons

Senin, 03 Juni 2024

FILSAFAT POSITIVISME

 

FILSAFAT POSITIVISME

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pembahasan tentang filsafat positivisme di satu pihak dikatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode atau pendirian saja, akan tetapi di lain pihak dikatan bahwa filsafat positivisme itu  merupakan “sistem afirmasi”, sebuah konsep tentang dunia dan manusia, dan juga terdapat seorang tokoh yang mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme. Sebutan “filsafat positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul kembali pada abad ke 20, setelah dahulu ada pada abad ke 18.

Salah satu filsuf yang  pertama kali melahirkan positifisme yaitu Aguste Comte, untuk itulah  pada era dewasa menuntut  kita untuk memahami apa yang sebenarnya dikaji dalam filsafat itu sendiri, hal ini tidak hanya harus dipahami oleh para ilmuan atau profesor saja, tapi mahsiswa dituntut juga untuk dapat memahami yang dikaji dalam filsafat. Karena mahasiswa itu nantinya yang akan menggantikan para filosofis saat ini, dan setiap preode filsafat itu harus dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini terdapat rumusan masalah sebagai berikut:

1.       Apa pengertian positivisme?

2.      Bagaimana sejarah munculnya filsafat positivisme?

3.       Mendeskripsikan tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Positivisme

Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]

Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.[2] Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa positivisme merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.

Dapat pula dikatakan positivisme adalah aliran yang berpendirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif.  Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.

Dengan kata lain kebenaran bagi positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.

B.      Lahirnya Filsafat Positivisme

 Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.

Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798 sampai1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di Montpellier padatahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati (kekuatan dewa-dewa) yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan.

Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh entitas metafisik (substansi, esensi, roh) yang dianggap ada pada setiap benda. Pada fase ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir.

Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.[4]

 

C.    Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Positivisme

1.      Auguste Comte (1798-1857)

Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798), dan meninggal dunia di kota Paris 5 september 1857.  Keluarganya beragama khatolik yang berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique dari tahun 1814-1816 di kota Paris dan menjadi sekretaris Saint-Simon pada tahun 1817. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.[5]

            Comte mempelajari karya-karya Adam Smith, David Hume, Condorset yang dianggapnya sebagai karya pendahulunya yang penting. Comte menjadi sekretaris Saint Simon (tokoh sosialis utopis) selama beberapa tahun dan ia berteman dengan J.S. Mill, seorang tokoh liberalisme Inggris terkemuka di era pencerahan, sepanjang hidupnya. Bersama Sain Simon, Comte menerbitkan Plan of The Scientific Works Necessary the Reorganization of Society, yang memuat ide-ide dasar filsafat positivismenya. Kendati bukan seorang pengajar atau dosen di salah satu universitas, Comte memberikan kuliah-kuliah pada sekelompok pendengar yang isinya merupakan perluasan dari filsafat positivismenya. Kuliah-kuliah itu dilakukan Comte untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain itu Comte juga menerbitkan buku Systeme de Politique Positive yang mengemukakan gagasan “agama humanitas” Comte. Agama humanitas Comte adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan agama humanis Comte ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya bersama istrinya, Clotilde de Vaux. Pada oktober 1844, Comte bertemu dengan Clotilde de Vaux, saudara bekas mahasiswanya yang telah berpisah dari suaminya dan sedang sakit  dan tanpa harapan untuk sembuh. Pada tahun 1845 Comte menikahi Clotilde dan pada 5 April 1846 istri Comte meninggal dunia.

Bila dalam pemikiran awalnya Comte menolak kepercayaan pada agama (Tuhan), namun tiba-tiba berubah total setelah Clotilde de Vaux meninggal. Kesedihan mendalam inilah kemudian yang memunculkan gagasan Comte tentang agama humanitas Comte yaitu agama yang ajarannya didasarkan pada positivisme dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia yakin bahwa sebelum tahun 1860, agamanya itu akan diterima dan dikhotbahkan di gereja Notre Dame sebagai satu-satunya agama yang benar.

Meskipun agama humanitas Comte tidak terjadi seperti yang diramalkannya, akan tetapi prinsip-prinsip humanisme ternyata telah menggantikan posisi agama Kristen dalam masyarakat Eropa. Adapun gagasan Comte (positivisme) banyak berperan dalam membentuk dunia ilmiah.

Terpengaruh oleh pandangan empirisme (yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber ilmu pengetahuan), lalu menolak unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah ilmu pengetahuan, Comte (positivisme) mencoba untuk membebaskan klaim-klaim metafisik dari ilmu pengetahuan. Fakta lalu dilihat berbeda dengan nilai, fakta dapat dipisahkan dari nilai-nilai. Positivisme Comte hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu. Istilah “positif” kerap digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan filsafat positivismenya. Fakta positivis adalah “fakta real” atau “yang nyata”. Hal positif adalah sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi oleh setiap orang (yang mau membuktikannya).

Comte berdiri di garis depan mendirikan sosiologi atas dasar metode empiris (dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam). Manusia dan masyarakat dianggapnya sama dengan alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti (mekanis). Ilmu yang dikembangkannya itu pertama kali disebutnya “Fisika Sosial” yang kemudian digantinya dengan istilah sosiologi, karena istilah itu dicuri (digunakan) oleh Adolphe Quetelet, ahli statistik sosial dari Belgia. Sosiologi bagi Comte harus menggunakan metode ilmu-ilmu alam dan memiliki fungsi yang sama dengan ilmu alam, yaitu bagaimana sosiologi dapat menghasilkan hukum-hukum kemajuan dan keteraturan, sehingga dengan hukum itu sosiologi dapat mengontrol dan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi umat manusia.[6]

Tahap perkembangan positivisme:

Menurut Auguste Comte terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

a.       Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

b.      Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

c.       Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

 

2.      John Stuart Mill ( 1806-1873 )

Ia adalah seorangg filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan adalah pengalaman.

 

D.    Positivisme Logis

 Positivisme  logis  adalah  filsafat  ilmu pengetahuan yang timbul pada abad  ke-20 di Wina,  ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di Austria, Eropa Tengah. Positivisme logis muncul dari hasil perombakan dari positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam  filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Mengenai tugas filsafat sebagai analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan antara proposisi sebagai simbol dengan  realitas yang disimbolkannya perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi.

Berikut prinsip-prinsip verifikasi:

1.      Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.

2.      Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).

3.      Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat di analisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.

E.     Kelebihan dan kelemahan positivisme

Kelebihan:

a.       Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

b.      Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.

Kekurangan:

a.       Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.

b.      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.[7]

BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Positivisme ini didirikan oleh seorang filsuf terkenal bernama August Comte.

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Karena ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu, para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori,  tetapi filsafat adalah aktifitas.

Di dalam perkembangan positivisme juga muncul aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.

DAFTAR PUSTAKA

Yuniar, Tanti, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Agung Media Mulia, tt.

Asmoro, Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.

Praja, Juhaya S., Aliran­Aliran Filsafat dan Etika Prenada, Jakarta: Media, 2003.

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Depok: Rajagrafindo Persada, 2018.

 

 

Web:

https://id.wikipedia.org

https://www.kompasiana.com

 



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme diakses pada tanggal 24 November 2019

[2]  Tanti Yuniar, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Agung Media Mulia, tt), hlm.488

[3] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.120.

[4] Juhaya S. Praja, Aliran­Aliran Filsafat dan Etika Prenada, (Jakarta: Media, 2003), hlm.133.

[5] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2018), hlm.140.

[6] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer..., hlm.140-142

0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates