FILSAFAT POSITIVISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembahasan tentang filsafat positivisme di
satu pihak dikatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode
atau pendirian saja, akan tetapi di lain pihak dikatan bahwa filsafat
positivisme itu merupakan “sistem afirmasi”, sebuah konsep tentang
dunia dan manusia, dan juga terdapat seorang tokoh yang mengatakan bahwa
sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa
positivisme. Sebutan “filsafat positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul
kembali pada abad ke 20, setelah dahulu ada pada abad ke 18.
Salah satu filsuf yang pertama
kali melahirkan positifisme yaitu Aguste Comte, untuk itulah pada
era dewasa menuntut kita untuk memahami apa yang sebenarnya dikaji
dalam filsafat itu sendiri, hal ini tidak hanya harus dipahami oleh para ilmuan
atau profesor saja, tapi mahsiswa dituntut juga untuk dapat memahami yang
dikaji dalam filsafat. Karena mahasiswa itu nantinya yang akan menggantikan
para filosofis saat ini, dan setiap preode filsafat itu harus dapat terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini terdapat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian positivisme?
2. Bagaimana sejarah munculnya
filsafat positivisme?
3. Mendeskripsikan tokoh-tokoh yang menganut
paham positivisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Positivisme
Positivisme secara etimologi berasal dari
kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang
benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa
yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam
angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas
kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]
Dalam filsafat, positivisme berarti suatu
aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari
apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.[2]
Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak
sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi.
Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari
fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu
dibalik fakta-fakta.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa positivisme merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya”
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal
diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Dapat pula dikatakan positivisme adalah
aliran yang berpendirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan
berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif. Jadi, dapat dikatakan titik
tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif,
sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala
gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
objektif bukannya metafisika yang merupakan ilmu pengetahuan yg
berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran
ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui
pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang
ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman
indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.
Dengan kata lain kebenaran bagi positivisme
Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan
kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh
karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu
tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau
penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari
pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
B. Lahirnya Filsafat Positivisme
Istilah Positivisme pertama kali digunakan
oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang
bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa
tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak
boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan
observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste
Comte (1798 sampai1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan
Perancis, yang dilahirkan di Montpellier padatahun 1798 dari
keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte
menggunakan istilah ini kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir
sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang
berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif
(1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang
terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase
teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis
(tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati (kekuatan
dewa-dewa) yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman
ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada
tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang
kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan.
Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan
filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh entitas metafisik
(substansi, esensi, roh) yang dianggap ada pada setiap benda. Pada fase ini
manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama
dan tujuan akhir.
Dan akhirnya pada masa positif (tahap
positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan
rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan
filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.[4]
C. Tokoh-Tokoh
Aliran Filsafat Positivisme
1. Auguste Comte (1798-1857)
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste
Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798), dan meninggal
dunia di kota Paris 5 september 1857.
Keluarganya beragama khatolik yang berdarah bangsawan. Dia mendapat
pendidikan di Ecole Polytechnique dari tahun 1814-1816 di kota Paris dan
menjadi sekretaris Saint-Simon pada tahun 1817. Dikalangan teman-temannya
Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang
meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung
Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan
memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun demikian, perhatian yang
sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.[5]
Comte
mempelajari karya-karya Adam Smith, David Hume, Condorset yang dianggapnya
sebagai karya pendahulunya yang penting. Comte menjadi sekretaris Saint Simon
(tokoh sosialis utopis) selama beberapa tahun dan ia berteman dengan J.S. Mill,
seorang tokoh liberalisme Inggris terkemuka di era pencerahan, sepanjang
hidupnya. Bersama Sain Simon, Comte menerbitkan Plan of The Scientific Works
Necessary the Reorganization of Society, yang memuat ide-ide dasar filsafat
positivismenya. Kendati bukan seorang pengajar atau dosen di salah satu
universitas, Comte memberikan kuliah-kuliah pada sekelompok pendengar yang
isinya merupakan perluasan dari filsafat positivismenya. Kuliah-kuliah itu
dilakukan Comte untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain itu Comte juga menerbitkan buku Systeme
de Politique Positive yang mengemukakan gagasan “agama humanitas” Comte.
Agama humanitas Comte adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan
agama humanis Comte ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya bersama
istrinya, Clotilde de Vaux. Pada oktober 1844, Comte bertemu dengan Clotilde de
Vaux, saudara bekas mahasiswanya yang telah berpisah dari suaminya dan sedang
sakit dan tanpa harapan untuk sembuh.
Pada tahun 1845 Comte menikahi Clotilde dan pada 5 April 1846 istri Comte
meninggal dunia.
Bila dalam pemikiran awalnya Comte menolak
kepercayaan pada agama (Tuhan), namun tiba-tiba berubah total setelah Clotilde
de Vaux meninggal. Kesedihan mendalam inilah kemudian yang memunculkan gagasan
Comte tentang agama humanitas Comte yaitu agama yang ajarannya didasarkan pada
positivisme dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia yakin bahwa sebelum tahun 1860,
agamanya itu akan diterima dan dikhotbahkan di gereja Notre Dame sebagai
satu-satunya agama yang benar.
Meskipun agama humanitas Comte tidak terjadi
seperti yang diramalkannya, akan tetapi prinsip-prinsip humanisme ternyata
telah menggantikan posisi agama Kristen dalam masyarakat Eropa. Adapun gagasan
Comte (positivisme) banyak berperan dalam membentuk dunia ilmiah.
Terpengaruh oleh pandangan empirisme (yang
hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber ilmu pengetahuan), lalu
menolak unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah ilmu pengetahuan, Comte
(positivisme) mencoba untuk membebaskan klaim-klaim metafisik dari ilmu
pengetahuan. Fakta lalu dilihat berbeda dengan nilai, fakta dapat dipisahkan
dari nilai-nilai. Positivisme Comte hanya menerima pengetahuan faktual, fakta
positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu. Istilah “positif”
kerap digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan filsafat
positivismenya. Fakta positivis adalah “fakta real” atau “yang nyata”. Hal
positif adalah sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi oleh setiap orang
(yang mau membuktikannya).
Comte berdiri di garis depan mendirikan
sosiologi atas dasar metode empiris (dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam).
Manusia dan masyarakat dianggapnya sama dengan alam yang memiliki
hukum-hukumnya yang pasti (mekanis). Ilmu yang dikembangkannya itu pertama kali
disebutnya “Fisika Sosial” yang kemudian digantinya dengan istilah sosiologi,
karena istilah itu dicuri (digunakan) oleh Adolphe Quetelet, ahli statistik
sosial dari Belgia. Sosiologi bagi Comte harus menggunakan metode ilmu-ilmu
alam dan memiliki fungsi yang sama dengan ilmu alam, yaitu bagaimana sosiologi
dapat menghasilkan hukum-hukum kemajuan dan keteraturan, sehingga dengan hukum
itu sosiologi dapat mengontrol dan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi
umat manusia.[6]
Tahap perkembangan positivisme:
Menurut Auguste Comte terdapat tiga tahap
dalam perkembangan positivisme, yaitu:
a. Tempat utama dalam positivisme pertama
diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori
pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan
oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
b. Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal
tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang
psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
c. Perkembangan positivisme tahap
terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh
pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.
2. John Stuart Mill ( 1806-1873 )
Ia adalah seorangg filosof Inggris yang
menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John
Stuart memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena
psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum
positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan
adalah pengalaman.
Positivisme logis adalah filsafat ilmu
pengetahuan yang timbul pada abad ke-20 di Wina,
ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di
Austria, Eropa Tengah. Positivisme logis muncul dari hasil perombakan dari
positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran
dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan
dengan pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi
analisis ini mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan
ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Mengenai tugas filsafat sebagai analisis logis
terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang disebut
verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan antara
proposisi sebagai simbol dengan realitas yang disimbolkannya perlu
ditempuh lewat prinsip verifikasi.
Berikut prinsip-prinsip verifikasi:
1. Suatu proposisi (pernyataan)
dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu
pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman
empiris.
2. Yang mesti dilakukan itu adalah
verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di
rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi
ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “John tidak akan mati” bermakna sebab
kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya secara
empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak
bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).
3. Setiap pernyataan yang secara
prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna.
Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak
dapat diverifikasi, atau tidak dapat di analisis secara empirik. Kalimat
metafisik God Exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna.
Demikian pula halnya kalimat God does not exist.
E. Kelebihan
dan kelemahan positivisme
Kelebihan:
a. Positivisme lahir dari faham
empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari
pada kedua faham tersebut.
b. Positivisme telah mampu mendorong
lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
Kekurangan:
a. Manusia akan kehilangan makna,
seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan
itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
b. Hanya berhenti pada sesuatu yang
nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
Positivisme ini didirikan oleh seorang filsuf terkenal bernama August Comte.
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh
positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Karena
ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak
obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu, para
ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi
segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di
alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh
karena itu filsafat bukanlah teori,
tetapi filsafat adalah aktifitas.
Di dalam perkembangan positivisme juga muncul
aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada
upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.
DAFTAR PUSTAKA
Yuniar,
Tanti, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Agung Media Mulia, tt.
Asmoro,
Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
Praja,
Juhaya S., AliranAliran Filsafat dan Etika Prenada, Jakarta:
Media, 2003.
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat
Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Depok: Rajagrafindo Persada, 2018.
Web:
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme diakses pada tanggal 24 November 2019
[2] Tanti Yuniar, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Agung Media Mulia, tt), hlm.488
[3] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.120.
[4] Juhaya S. Praja, AliranAliran Filsafat dan
Etika Prenada, (Jakarta: Media, 2003), hlm.133.
[5] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga
Kontemporer, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2018), hlm.140.
[6] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer...,
hlm.140-142
[7]https://www.kompasiana.com/mauidhotulkhasanah/54f7c28da33311c27b8b4c97/kelebihan-dan-kekurangan-aliranaliran-filsafat diakses pada tanggal 24 November 2019
0 comments:
Posting Komentar