Social Icons

Senin, 03 Juni 2024

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM PRAGMATISME

 FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

PRAGMATISME

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kehidupan manusia pada abad 20 adalah kehidupan yang rumit dan penuh dengan berbagai persoalan. Para filsuf menemukan bahwa sumber dari kerumitan ini adalah pada cara berfikirnya. Oleh karena itu mereka sangat peduli untuk menelitinya dengan mengikuti metode ilmiah secara tepat dan cermat.

Para filsuf berusaha untuk membangun sebuah madzhab filsafat yang saling menyempurnakan, dengan membangkitkan sebuah persoalan dan kemudian mengkaji persoalan tersebut secara abash. Diantara aliran-aliran filsafat kontemporer yang saling membangun diantaranya adalah idealisme, pragmatisme, materialisme, positivisme logis, atomisme logis, fenomenologi, dan eksistensialisme. Namun pada makalah ini hanya akan dibahas tentang pragmatism, aliran filsafat yang muncul dari Amerika.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian filsafat pragmatisme ?

2.      Bagaimana sejarah filsafat pragmatisme?

3.      Siapa tokoh-tokoh filsafat pragmatisme ?

4.      Bagaimana implikasi pragmatisme terhadap Pendidikan?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

PRAGMATISME

A.    Pengertian Filsafat Pragmatisme

Pragmatisme diambil dari kata Pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. yaitu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[1] Pragmatisme juga bisa disebut dengan filsafat praktis atau filsafat aplikasi praktis asal mula penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914 M).[2]

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.

 

B.     Sejarah Filsafat Pragmatisme

Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.[3]

Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke InggrisPerancis, dan Jerman. William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[4]

Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dengan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Dengan demikian, Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Dengan berbagai tokoh terkemuka yaitu, Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). Pragmatisme juga berkembang di eropa, namun sedikit perkembangnya. Ia lebih mendominasi diwilayah Amerika Serikat, sehingga pragmatisme memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Karena rakyat Amerika menginginkan sesuau itu harus yang kongkrit dan nyata yang bisa diterima oleh akal manusia.

 

C.    Tokoh-Tokoh Filsafat Pragmatisme

1.      Charles Sandre Peirce (1839-1914 M)

Charles Sanders Peirce lahir pada 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, dan meninggal 19 April, 1914 di Milford, Pennsylvania. Dia adalah seorang ahli logika, filsuf, dan ilmuwan. Sebagai putra Benjamin Charles Sanders Peirce, seorang ilmuwan terkemuka dan guru besar matematika di Harvard, Charles Sanders Peirce dibesarkan di lingkungan keluarga intelektual. Di bawah bimbingan dan pendidikan ayahnya,  pada usianya yang baru menginjak dua belas tahun ia telah tertarik dengan logika.

Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.

2.      William James (1842-1910 M)

James lahir di New York City pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal , berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Keluarga William James menerapkan Humanisme dalam kehidupan serta pengembangannya. Kehidupan  James rajin mempelajari manusia dan agama.

Pendidikan formalnya yang mula-mula tidak teratur, ia mendapat tutor berkebangsaan Inggris, Perancis, Swiss, Jerman dan Amerika. Akhirnya ia memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869. Akan tetapi, ia kurang tertarik pada praktek pengobatan, ia lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Tahun 1875 perhatiannya lebih tertarik kepada psikologi dan fungsi manusia. Pada waktu inilah ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr., dan tokoh dalam Metaphysical Club untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metoda ilmiah agama dan evolusi. Disinilah ia mula-mula mendapat pengaruh Peirce dalam metoda pragmatisme.

Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepadanya suatu hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.

Di dalam bukunya The Meaning of Truth, arti kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.

Di dalam bukunya, Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.

3.      John Dewey (1859 M)

John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929). John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika. Dewey sejak kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme.[5]

`Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalama dan mengolahnya secara kritis.

Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalamn dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda induktif. Metoda ini tidak hanya berlaku ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.

Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.[6]

Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah insrtumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.

Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dalam penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

D.   Implikasi Pragmatisme Jhon Dewey terhadap Pendidikan

Jhon Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.

Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi menurut Dewey  pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.[7]

Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman peserta didik. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan, itu berarti peserta didik berhenti berpikir, berhenti merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya kematian masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum harus mengabdi kepada peserta didik sehingga dengan bantuan kurikulum peserta didik dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi antar peserta didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi menguasai ataupun relasi subjek-objek di mana peserta didik adalah pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga bersifat sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di dalamnya. Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai kurikulum tersembunyi.

Melalui penelitiannya terhadap pendidikan, Dewey melihat sekolah dan kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman peserta didik menjadi apa yang disebutnya spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian peserta didik seolah-olah dapat menjawab seluruh permasalahan. Dewey justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si peserta didik dikoyakkan dan diatur menurut sebuah prinsip tertentu. Dewey menyebutkan 3 akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi peserta didik berhadapan dengan dunia impersonal yang sempit namun karena ditata berdasarkan prinsip tertentu, peserta didik seolah berhadapan dengan semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup peserta didik dan adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum. Ketiga, prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan yang utuh dari hidup peserta didik. Ketiga hal ini mau mengatakan bahwa peserta didik dan kurikulum seperti dua aspek yang sangat berbeda.

Tapi, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan formal. Kurikulum bukanlah pengganti pengalaman peserta didik. Kurikulum adalah sebuah peta yang mengarahkan peserta didik mencari jati dirinya.[8]

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Pragmatisme di Amerika berkembang melalui tiga tokohnya, yaitu Charles Sandre Peirce,  William James, John Dewey. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.

John Dewey menyebut pragmatisme dengan istilah instrumentalis yaitu suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalamn yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensi di masa depan.


 

DAFTAR PUSTAKA

Hadwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta:Kanisius, 1994.

Iman, Muis Sad,  Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.

Isma’il, Fu’ad Farid  dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, Yogyakarta : IRCiSoD, 2012.

Praja, Juyaha S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2003.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

 

Web:

wikipedia.org/wiki/Pragmatisme

http://michelaurel.wordpress.com

 

 



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.190-191.

[2] Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012), hlm.128.

[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra...,  hlm.190-191.

[4] wikipedia.org/wiki/Pragmatisme di akses pada 28 April 2020.

[5] Harun Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta:Kanisius, 1994), hlm.116.

[6] Juyaha S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm.174.

[7]Muis Sad Iman,  Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm.3.

[8]http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/,  diakses pada 28 April 2020.

0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates