FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehidupan manusia pada abad 20
adalah kehidupan yang rumit dan penuh dengan berbagai persoalan. Para filsuf
menemukan bahwa sumber dari kerumitan ini adalah pada cara berfikirnya. Oleh
karena itu mereka sangat peduli untuk menelitinya dengan mengikuti metode
ilmiah secara tepat dan cermat.
Para filsuf berusaha untuk
membangun sebuah madzhab filsafat yang saling menyempurnakan, dengan
membangkitkan sebuah persoalan dan kemudian mengkaji persoalan tersebut secara
abash. Diantara aliran-aliran filsafat kontemporer yang saling membangun
diantaranya adalah idealisme, pragmatisme, materialisme, positivisme
logis, atomisme logis, fenomenologi, dan eksistensialisme. Namun pada makalah
ini hanya akan dibahas tentang pragmatism, aliran filsafat yang muncul dari
Amerika.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian filsafat
pragmatisme ?
2. Bagaimana sejarah filsafat
pragmatisme?
3. Siapa tokoh-tokoh filsafat
pragmatisme ?
4. Bagaimana implikasi pragmatisme terhadap Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
PRAGMATISME
A. Pengertian
Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata Pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme mula-mula
diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
menuruti tindakan. yaitu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat
kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan
demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan
bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk
memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[1]
Pragmatisme juga bisa disebut dengan filsafat praktis atau filsafat aplikasi
praktis asal mula penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf Amerika Charles
Sanders Peirce (1839-1914 M).[2]
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang
benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara
praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang
penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada
individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang
ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan
fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.Dunia ditampilkan
apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang
muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan
fakta-fakta umum.Ide menjadi benar ketika
memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme
tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih
yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
B. Sejarah
Filsafat Pragmatisme
Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di
Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama
yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James
(1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama
George Herbert Mead (1863-1931). William James mengatakan bahwa secara ringkas
prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S.
Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa
akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat
pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah
keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur
kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis
penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian
konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu.
Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep
itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.[3]
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya
sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. William James adalah orang yang
memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James
dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang
terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey
juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[4]
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan
filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan
sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dengan Amerika
sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang
berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan
intelektual di Amerika. Dengan demikian, Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh
di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Dengan berbagai tokoh terkemuka
yaitu, Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John
Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead
(1863-1931). Pragmatisme juga berkembang di eropa, namun sedikit perkembangnya.
Ia lebih mendominasi diwilayah Amerika Serikat, sehingga pragmatisme memiliki
pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Karena rakyat Amerika
menginginkan sesuau itu harus yang kongkrit dan nyata yang bisa diterima oleh
akal manusia.
C. Tokoh-Tokoh
Filsafat Pragmatisme
1. Charles Sandre Peirce (1839-1914 M)
Charles Sanders Peirce lahir pada
10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, dan meninggal 19 April, 1914 di
Milford, Pennsylvania. Dia adalah seorang ahli logika, filsuf, dan ilmuwan.
Sebagai putra Benjamin Charles Sanders Peirce, seorang ilmuwan terkemuka dan
guru besar matematika di Harvard, Charles Sanders Peirce dibesarkan di
lingkungan keluarga intelektual. Di bawah bimbingan dan pendidikan
ayahnya, pada usianya yang baru menginjak dua belas tahun ia telah
tertarik dengan logika.
Dalam konsepnya ia menyatakan
bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis.
Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya
bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan
suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya
sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta
mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan
hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada
tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi
manusia.
2.
William James
(1842-1910 M)
James lahir di New York City pada
tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal ,
berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Keluarga William James
menerapkan Humanisme dalam kehidupan serta pengembangannya.
Kehidupan James rajin mempelajari manusia dan agama.
Pendidikan formalnya yang
mula-mula tidak teratur, ia mendapat tutor berkebangsaan Inggris, Perancis,
Swiss, Jerman dan Amerika. Akhirnya ia memasuki Harvard Medical School pada
tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869. Akan tetapi, ia kurang
tertarik pada praktek pengobatan, ia lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh.
Oleh karena itu, ia kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard.
Tahun 1875 perhatiannya lebih tertarik kepada psikologi dan fungsi manusia.
Pada waktu inilah ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver
Wendel Holmes, Jr., dan tokoh dalam Metaphysical Club untuk berdiskusi dalam
masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metoda ilmiah agama dan evolusi.
Disinilah ia mula-mula mendapat pengaruh Peirce dalam metoda pragmatisme.
Menurut James, dunia tidak dapat
diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia terdiri dari banyak
hal yang saling bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, sepanjang
kepercayaan itu memberikan kepadanya suatu hiburan rohani, penguatan keberanian
hidup, perasaan damai, keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman
keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama memberikan
kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.
Di dalam bukunya The Meaning
of Truth, arti kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan
terlepas dari segala akal yang mengenal.
Di dalam bukunya, Varietes of
Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James
mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan
perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran
dengan cara yang berlainan.
3.
John Dewey (1859
M)
John Dewey dilahiran di Burlington
pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru
Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada
universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan
akhirnya di universitas Colombia (1904-1929). John Dewey adalah seorang
filsuf dari Amerika. Dewey sejak kecil adalah seorang yang gemar membaca namun
tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu.
Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia
kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun
1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut.
Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang
yang menggagas munculnya pragmatisme.[5]
`Sebagai pengikut filsafat
pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh
karena itu filsafat harus berpijak pada pengalama dan mengolahnya secara
kritis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang
tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan,
segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak
lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat
ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang
dapat dipercaya untuk mengatur pengalamn dan untuk mengetahui artinya yang
sebenarnya adalah metoda induktif. Metoda ini tidak hanya berlaku ilmu
pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Menurut Dewey, kita ini hidup
dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan
sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan
kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat
hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa
dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.[6]
Dewey lebih suka menyebut
sistemnya dengan istilah insrtumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah
satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha
untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dalam penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
D. Implikasi Pragmatisme Jhon Dewey terhadap Pendidikan
Jhon Dewey juga menjadi sangat
terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan
yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika.
Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah
mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat
determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi
juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Dewey secara realistis mengkritik
praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan
mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi menurut
Dewey pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang
dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan.
Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan
pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan
mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam
pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga
fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik.
Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik
pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat
mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara
melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya
peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari
masalah yang ia hadapi.[7]
Dewey meyakini bahwa pusat dari
kurikulum seharusnya mencakup pengalaman peserta didik. Jika kurikulum menjadi
tujuan pendidikan, itu berarti peserta didik berhenti berpikir, berhenti
merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya kematian masyarakat itu sendiri.
Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan dan perkembangan masyarakat.
Kurikulum harus mengabdi kepada peserta didik sehingga dengan bantuan kurikulum
peserta didik dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai,
sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam
kurikulum adalah interaksi antar peserta didik serta interaksi guru dan murid.
Bukan relasi menguasai ataupun relasi subjek-objek di mana peserta didik adalah
pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan
interaksi fisik, tapi juga bersifat sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap,
makna telah termasuk di dalamnya. Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai
kurikulum tersembunyi.
Melalui penelitiannya terhadap pendidikan,
Dewey melihat sekolah dan kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman
peserta didik menjadi apa yang disebutnya spesialisasi. Bagi Dewey, dengan
pemisahan demikian peserta didik seolah-olah dapat menjawab seluruh
permasalahan. Dewey justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa
masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si peserta didik dikoyakkan dan
diatur menurut sebuah prinsip tertentu. Dewey menyebutkan 3 akibat dari hal
ini. Pertama, dunia pribadi peserta didik berhadapan dengan dunia impersonal
yang sempit namun karena ditata berdasarkan prinsip tertentu, peserta didik
seolah berhadapan dengan semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas
hidup peserta didik dan adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum. Ketiga,
prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan yang utuh dari hidup
peserta didik. Ketiga hal ini mau mengatakan bahwa peserta didik dan kurikulum
seperti dua aspek yang sangat berbeda.
Tapi, pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam pendidikan formal?
Kurikulum tetap diperlukan lantaran kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan
formal. Kurikulum bukanlah pengganti pengalaman peserta didik. Kurikulum adalah
sebuah peta yang mengarahkan peserta didik mencari jati dirinya.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat
secara praktis. Pragmatisme di Amerika berkembang melalui tiga tokohnya,
yaitu Charles Sandre Peirce, William James, John
Dewey. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai
pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam
pelbagai bidang kehidupan.
John Dewey menyebut pragmatisme dengan
istilah instrumentalis yaitu suatu usaha untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang
berdasarkan pengalamn yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta:Kanisius,
1994.
Iman, Muis Sad,
Pendidikan
Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta:
Safiria Insani Press, 2004.
Isma’il, Fu’ad Farid
dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, Yogyakarta
: IRCiSoD, 2012.
Praja, Juyaha S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Kencana, 2003.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009.
Web:
wikipedia.org/wiki/Pragmatisme
http://michelaurel.wordpress.com
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,(Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), hlm.190-191.
[2] Fu’ad Farid Isma’il dan
Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, (Yogyakarta
: IRCiSoD, 2012), hlm.128.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra..., hlm.190-191.
[4] wikipedia.org/wiki/Pragmatisme
di akses pada 28 April 2020.
[5] Harun Hadwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta:Kanisius, 1994), hlm.116.
[6] Juyaha S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm.174.
[7]Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta:
Safiria Insani Press, 2004), hlm.3.
[8]http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/, diakses
pada 28 April 2020.
0 comments:
Posting Komentar