Social Icons

Senin, 03 Juni 2024

HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM

HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar dan mengambil manfaat dari alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Islam menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang esensi dalam kehidupan umat manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat membentuk kepribadiannya. Selain itu, manusia dapat memahami dan mampu menerjemahkan lingkungan yang dihadapinya sehingga dapat menciptakan suatu karya yang gemilang.

Pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian humanisasi pendidikan Islam ?

2.      Apa tujuan humanisasi pendidikan Islam ?

3.      Bagaimana pandangan Islam tentang humanisasi pendidikan Islam ?

4.      Bagaimana aktualisasi humanisasi pendidikan Islam ?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk meengetahui pengertian humanisasi pendidikan Islam.

2.      Untuk mengetahui tujuan humanisasi pendidikan Islam.

3.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang humanisasi pendidikan Islam.

4.      Untuk mengetahui aktualisasi humanisasi pendidikan Islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Humanisasi Pendidikan Islam

Pendidikan dipercaya sebagai alat strategis meningkatkan taraf hidup manusia. Melalui pendidikan manusia menjadi cerdas, memiliki skill, sikap hidup yang baik sehingga dapat bergaul dengan baik pula di masyarakat.[1] Pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan adalah sebuah investasi sumber daya manusia. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun memuaskan. Karena proses pendidikan merupakan suatu  proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.[2]

Humanisasi menurut kamus bahasa Indonesia berarti pemanusiaan[3] atau penumbuhan rasa perikemanusiaan.[4] Dalam Ensiklopedi agama dan filsafat yang ditulis oleh Mokhtar Effendi berasal dari kata humanus yang artinya kemanusiaan, nama suatu aliran kebudayaan dikalangan pelajar yang mencapai puncaknya pada abad ke-15 di Italia, bertujuan mencari pengembangan segi rokhaniyah pada manusia secara mandiri. Humanisme (modern) diartikan sebagai pandangan hidup yang ingin memahami manusia dan kemanusiaan sebagai dasar dan tujuan dari segala dasar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama.[5]

Adapun menurut Chabib Toha “Humanisme, kemanusiaan adalah nilai-nilai obyektif yang dibatasi oleh kultur tertentu, nilai kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun di atas fondasi individualisme dan demokrasi.”[6] Humanisme  dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang.  Humanisme mengingatkan akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan.[7]

Pembahasan tentang humanisasi tentu tidak luput pula dari pembahasan mengenai liberalisasi, demokratisasi, individualisasi. Hal ini disebabkan keempat hal tersebut mempunyai visi yang sama yaitu mengangkat eksistensi manusia sebagai makhluk yang sempurna di dunia. Jadi, humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Dari sini diharapkan akan memunculkan sikap-sikap individu dalam masyarakat yang lebih terbuka, merdeka, progresif, berwawasan luas, serta mempunyai tanggung jawab pribadi sebagai bentuk dari kemandirian individu tersebut. Senada dengan ungkapan-ungkapan di atas, Feisal memaknai humanisasi sebagai memanusiawikan melalui pengertian lengkap bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang sempurna.[8]

Selanjutnya menurut Feisal bahwa: “Manusia di atas adalah manusia seutuhnya yang tak lain yaitu manusia yang memasyarakat, adil, benar, jujur, harmonis dan secara alamiah mengakui Tuhan sebagai pencipta, mengabdi kepada-Nya, gandrung untuk memaksimalkan potensi pribadinya, bertanggung jawab kepada sesama manusia dalam masyarakat dan umatnya serta ingin menemukan rahasia dalam memelihara dan mengembangkannya untuk kepentingan dirinya, orang tuanya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, bahkan umat manusia.”[9]

Sementara itu istilah di atas banyak berkaitan erat dengan istilah demokratisasi yang mana bisa diartikan sebagai pembebasan manusia atas ketergantungan terhadap realitas obyektif yang sering menghambat manusia dalam mengembangkan diri untuk mencapai kualitas hidup di luar parameter material. Dan jika ini dikaitkan dengan pendidikan, maka demokratisasi berarti pembebasan pendidikan dan manusia yang terlibat didalamnya dari struktur dan sistem serta perundangan yang menempatkan manusia sebagai komponen. Sehingga jika ada proses-proses dominasi juga alienasi, misalnya dalam konteks pendidikan, maka yang demikian itu termasuk tindakan dehumanisasi, di mana di dalamnya tidak ada proses pemberdayaan, tetapi hanya sebuah proses pemindahan ilmu pengetahuan dan menganggap bahwa kesadaran kritis manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi, bukan sebagai “hasrat”,  intentiondari manusia terhadap ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada “keterasingan” antara keduanya.

Secara teoritis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa penerapan asas demokrasi tidak mungkin kreativitas manusia yang menjadi sumber bagi peningkatan hidup manusia dapat hidup dan berkembang. Oleh karena itu, humanisasi dalam dunia pendidikan menuntut proses pendidikan yang lebih memperhatikan pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak sebagai inti dari kehidupan demokratis yang sangat menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih. mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan.

Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak. Humanisme dimaknai sebagai potensi (kekuatan) individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan serta mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Sementara itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses dalam membentuk manusia sesuai dengan cita-cita Islam. Dengan demikian, humanisme dalam dunia pendidikan Islam merupakan proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk berketuhanan dan makhluk berkemanusiaan serta individu yang diberi kesempatan oleh Allah untuk mengembangkan potensi-potensinya.[10]

 

B.     Tujuan Humanisasi Pendidikan Islam

Menurut teori humanistik, tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Humanisasi ini berusaha untuk memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Adapun tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu:

1.      Proses memperoleh informasi baru

2.      Personalia informasi ini pada individu[11]

Menurut Zakiyah Darajat tujuan pendidikan Islam adalah  membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak terpuji. Bahkan keseluruhan gerak dalam kehidupan setiap muslim, mulai dari perkataan, perbuatan dan tindakan apapun yang dilakukan  dengan mencari  nilai ridha Allah, memenuhi segala perintah-Nya adalah ibadah. Dengan demikian, identitas muslim akan tampak dalam semua aspek kehidupannya.[12]

Jadi pendidikan akan menemukan tujuannya jika nilai-nilai humanis tersebut masuk dalam diri peserta didiknya. Peserta didik akan memiliki motivasi yang kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi sesama. Peserta didik  akan  belajar terus agar memiliki pikiran  yang cerdas kreatif, hati yang bersih, tingkat spiritual yang tinggi dan kekuatan serta kesehatan fisik yang prima. Semua keunggulan tersebut dimaksudkan untuk diabdikan kepada Tuhan dan untuk memberikan kemashlahatan individual dan sosial yang optimal.[13]

 

C.    Pandangan Islam Terhadap Humanisasi Pendidikan Islam

Walaupun istilah humanisasi tampak berkonotasi Barat, namun nilai-nilainya telah diajarkan Islam yaitu tentang penghargaan terhadap eksistensi manusia yang merupakan makhluk beradab, berfikir dan memiliki kesadaran. Di sini Islam dipandang sebagai agama sekaligus sebuah sistem nilai. Dalam konteks pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pembebasan yang merupakan refleksi dari pemanusiaan manusia dalam konfigurasi sistem pendidikan Islam yang sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.[14]

Secara historis, pendidikan pembebasan telah diterapkan nabi Muhammad saw. dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan ini merupakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Itu sebabnya dalam al-Qur’an diterangkan bahwa orang-orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial berpredikat sebagai yang mendustakan agama, yaitu dalam ayat:

|M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ   šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ   Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ   ×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ   tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ   tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ  

 

 

Artinya:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.[15]

 

Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa Islam itu memiliki potensi sebagai agama pembebasan. Islam juga mementingkan kasih sayang dan seterusnya berimplikasi pada kepekaan manusia. Dalam kaitannya dengan ini, Djuwaeli menjelaskan bahwa “Pendidikan Islam membentuk keberanian moral bagi setiap peserta didik untuk senantiasa melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat bagi semua manusia dan sebaliknya menghindari perbuatan-perbuatan maksiat yang  merugikan orang lain.”[16]

Selanjutnya humanisme dalam Islam dapat berarti secara otomatis membicarakan tentang humanisme religius, humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas. Manusia hidup di bumi ini tidak lain mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah-Nya yang memiliki seperangkat tanggungjawab, dalam hal ini tanggungjawab tersebut lebih ditekankan pada tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan hidup.[17]

 

D.    Aktualisasi Humanisasi Pendidikan Islam

Secara teoritis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak.

Konsepsi Islam tentang pembebasan manusia adalah ajaran tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, Isa  dan Muhammad. Ajaran  tauhid menunjukkan bahwa tidak ada penyembahan kecuali kepada Tuhan. Selain itu, ajaran tauhid juga mengandung makna tentang kebebasan manusia. Seseorang yang telah memilih jalan untuk tunduk kepada Tuhan berarti telah menyatakan dirinya untuk lepas dari belenggu apapun. Oleh karena itu misi terbesar dari Islam adalah pembebasan manusia.

Dengan kata lain,  Islam  adalah agama yang sarat akan kekuatan pembebas (liberating force) bagi manusia. Namun kenyataannya, pendidikan  Islam  justru masih terkungkung oleh hegemoni Barat.Oleh karena itu, pendidikan  Islam  pun dituntut untuk menggunakan prinsip-prinsip “pembebasan” sebagai wujud nyata dari  Islam  sebagai agama pembebasan. Jadi, pendidikan  Islam  adalah “paradigma pembebasan” merupakan sebuah keniscayaan ;  condition sine quanon. Diterimanya prinsip dikotomik antara  ilmu agama dan ilmu sekuler dalam dunia pendidikan  Islam, jelas menunjukkan bahwa fondasi pandangan dasar pendidikan di negara-negara  Muslim. Selain itu pun, dikotomi ini diperkuat oleh penjajahan Barat atas dunia Islam yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dengan demikian, pendidikan  Islam--sebagai proses yang disandarkan pada nilai-nilai ideal Islam  secara benar dan proporsional--memang seharusnya meletakkan kebebasan manusia sebagai dasar pijakan operasional sekaligus sebagai tujuan pendidikan itu sendiri.  Melihat realitas tersebut, nampak jelas bahwa urgensi pendidikan Islam  yang dibutuhkan oleh umat dalam masa sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan kekuatan pembebas manusia pada posisi sentral dalam setiap  perubahan dan mampu dalam mengendalikan perubahan yang sedang dan akan dialaminya. Misi pendidikan  Islam  yang utama berarti harus membebaskan manusia dari kungkungan  dan kejumudan  berbagai aliran pemikiran dan filsafat yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan. [18]

Adapun implementasi humanisme dalam pendidikan Islam tidak akan terlepas dari beberapa  komponen  pendidikan yang ikut andil dalam menentukan berhasil tidaknya usaha ini. Di  bawah ini akan dipaparkan komponen-komponen tersebut secara terperinci:

1.      Pendidik

Pendidik  merupakan salah satu faktor penentu yang sangat  penting dalam sebuah sistem pendidikan.[19] Dalam konsep humanisasi pendidikan Islam, pendidik  bukanlah  tokoh utama dalam proses pembelajaran, yang dapat mendominasi forum. Pendidik dalam  Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).

Pendidik juga adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani seseorang yakni dari segi pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan, serta aspek spiritual dalam upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga menjadi insan yang berakhlakul karimah.[20]

Seorang  pendidik,  seyogyanya selalu meningkatkan interaksi, menciptakan kondisi forum sehingga terbina partisipasi aktif dari peserta  didik serta memberikan kesempatan seluas-luasnya  untuk mengembangkan potensi masing-masing individu. Sehingga fungsi pendidik  di sini hanya sebagai inovator dan motivator. Jelasnya,  pendidik  haruslah membudayakan komunikasi dua arah, sehingga akan tercipta  suasana yang demokratis dalam proses pembelajaran.[21]

2.      Metode

 Setiap sistem pendidikan tentu saja mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan paradigma yang dipakai. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa komponen pendukung,  Salah  satunya  adalah metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran.

Metode berarti cara atau alat yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana atau materi yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dalam pelaksanaan pendidikan.[22] Materi pelajaran yang mudah pun kadang-kadang sulit berkembang dan sulit diterima oleh peserta didik, karena cara atau metode yang digunakannya kurang tepat. Namun, sebaliknya suatu pelajaran yang sulit akan mudah diterima oleh peserta didik, karena penyampaian dan metode yang digunakan mudah dipahami, tepat dan menarik.[23]

 Dalam konsep humanisasi pendidikan  Islam, sudah tidak layak lagi  seorang  pendidik  yang menggunakan paradigma lama dalam rangka  mengaplikasikan suatu metode tertentu yaitu dengan menganggap peserta  didik sebagai obyek pembelajaran yang harus mendapat masukan ilmu  terus-menerus tanpa mempedulikan berbagai potensi yang dimiliki  oleh  peserta  didik. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah dengan dua jabatan  sekaligus (yakni  Abdullah  dan Khalifatullah), peserta didik merupakan  individu yang utuh, sehingga metode yang tepat seyogyanya adalah  metode  yang  dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam rangka merekatkan baik keterhubungan dengan Tuhan,  hablum minallah,  maupun keterhubungan dengan sesama manusia,  hablum minannas, di mana keduanya  merupakan pengejawantahan dari peran  Abdullah  dan Khalifatullah  tersebut.  Menurut Mas’ud, untuk mencapai  tujuan tersebut, diperlukan suatu  proses  becoming  dan educating bagi peserta didik serta proses liberating,  dan civilizing bagi pendidik,  dimana yang menjadi sasaran utama adalah  proses humanisasi dalam pembelajaran tersebut.[24]

3.      Peserta Didik

Peserta didik merupakan subjek pendidikan, karena merekalah yang  belajar, memiliki tujuan dan pewaris masa depan. Sedangkan pendidikan  ibarat sebuah busur panah, tempat mengarahkan peserta didik menuju  sasaran itu. Peserta didik atau yang kita  kenal dengan sebutan murid,  dalam bahasa Arab yang artinya pencari (ilmu). Hal ini menunjukkan  adanya peran aktif dari peserta didik tersebut dalam proses pembelajaran.

Hal ini diperkuat pula dengan adanya peran utama peserta didik sebagai  manusia di muka  bumi sebagai khalifah, sehingga mereka memiliki  sejumlah kemampuan untuk memilih dan bertindak, walaupun sifatnya tidak mutlak.

Dengan kedua paradigma ini diharapkan pendidikan akan menunjukkan fungsi aslinya sebagai media dalam membebaskan manusia  dari segala bentuk dominasi dan alienasi, serta mengembangkan segala  potensi manusia itu sebagai proses humanisasi. Hal ini akan mudah  dicapai dengan adanya komunikasi dan motivasi dalam sebuah proses  pembelajaran. Pendidikan bisa berlangsung dengan baik, manakala di  dalamnya terjadi komunikasi timbal balik (two ways communication)  antara  pendidik  dan peserta didik. Dengan komunikasi ini  pendidik  tidak dapat  memaksakan pikirannya kepada peserta didik. Karena pemaksaan apapun  jenisnya, tidak akan mampu menggali dan menumbuhkan motivasi  belajar pada peserta didik. Dengan pemaksaan ini pula, peserta didik  hanya diajari untuk beradaptasi bukannya berintegrasi.

Kondisi semacam ini (dimulai dari dialog hingga penumbuhan motivasi yang pada akhirnya berimplikasi pada pengintegrasian), akan menciptakan interaksi pendidikan dimana  pendidik  dan murid sama-sama  menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan manusiawi. Hal  yang demikian dapat menumbuhkan kepercayaan diri, karena hidupnya  terasa  bermakna, serta apa yang mereka hasilkan tidak sia-sia, melainkan mendapat penghargaan yang setimpal.[25]

4.      Materi

Salah satu aspek penting dalam pendidikan adalah materi. Materi  yang akan disajikan dalam sebuah proses pembelajaran, sebaiknya disesuaikan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Materi yang ditentukan dalam kegiatan pembelajaran seharusnya adalah materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.[26] Selain itu, kondisi  peserta didik, pengajar, sarana, metode dan sebagainya yang memungkinkan dalam melaksanakan atau mengkaji materi tersebut. Maka  isi atau materi pelajaran dapat diidentikkan dengan proses belajar.[27]

5.      Evaluasi

Evaluasi dapat diartikan sebagai penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.[28] Evaluasi juga bisa diartikan sebagai proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai.[29] Fungsi evaluasi ini diantaranya adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan suatu program.[30] Perlu diketahui bahwa di dalam sistem humanisasi pendidikan  Islam  tidak mengenal adanya  diskriminasi serta dominasi dari satu pihak ke pihak terhadap pihak yang  lain (misalnya seorang  pendidik  terhadap peserta didik). Keduanya merupakan  individu yang sama-sama mempunyai tanggung jawab sebagai  Khalifatullah  dan Abdullah. Dalam pandangan  Islam, prinsip egalitarian  merupakan pengejawantahan dari kenyataan tauhid dimana kedudukan  manusia di hadapan Tuhan adalah sama, dan pada hakikatnya manusia adalah satu, karena berasal dari Yang Maha Esa.

Implementasi konsep tersebut dalam evaluasi pendidikan tercermin dengan adanya evaluasi dua arah antara pendidik dan peserta didik. Hal ini  dikarenakan keduanya berada dalam “gerbong” pembelajaran yang sama,  untuk menuju tujuan yang sama pula. Jadi mereka merupakan mitra yang  sama-sama mempunyai kepribadian, tanggung jawab, hak asasi, sehingga terdapat konsekuensi untuk saling mengevaluasi di antara keduanya.

Oleh karena tujuan pendidikan  Islam  sebagaimana disinggung pada  uraian-uraian sebelumnya  adalah  upaya  mewujudkan  individu secara holistik, insan  kamil dalam segala aspek, potensi dan sebagainya yang dimiliki, maka  evaluasi yang diberlakukan juga harus menyentuh segala hal tersebut.

Evaluasi tidak boleh menafikan salah satu domain dalam proses pembelajaran. Jadi, selain domain kognitif, kedua domain lainnya yakni  afektif dan psikomotorik juga turut dievaluasi. Selain itu berbagai  kecerdasan yang dimiliki individu-individu, baik kecerdasan intelektual,  emosional maupun spiritual pun tidak boleh terlupa dari proses evaluasi.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses evaluasi yaitu bahwa  evaluasi tidak hanya dilakukan sekali pada waktu tertentu saja, tetapi  harus dilakukan secara terus menerus (continue) dan berkesinambungan  serta dimanapun proses tersebut dilaksanakan. Hal ini menandakan bahwa  proses atau  means  lebih penting daripada tujuan.[31]


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Humanisasi secara bahasa berarti pemanusiaan atau penumbuhan rasa perikemanusiaan. Humanisasi menurut Chabib Toha adalah nilai-nilai obyektif yang dibatasi oleh kultur tertentu, nilai kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun di atas fondasi individualisme dan demokrasi. Humanisme (modern) diartikan sebagai pandangan hidup yang ingin memahami manusia dan kemanusiaan sebagai dasar dan tujuan dari segala dasar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama.

Menurut teori humanistik, tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu: Proses memperoleh informasi baru dan personalia informasi ini pada individu.

Secara historis, humanisasi atau pendidikan pembebasan telah diterapkan nabi Muhammad saw. dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan ini merupakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya.

DAFTAR PUSTAKA

Churri, Mohamad Ainul dan Yudha Anggana Agung, Pengembangan Materi dan Media Pembelajaran Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejuruan Teknik Audio Video untuk Smk Negeri 7 Surabaya, dalam Jurnal Pendidikan Teknik Elektro, vol.2, no.2, 2013.

Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Depag, 1982.

Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2014.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2010.

Djuwaeli, Irsjad, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998.

Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2015.

Fad, M. Farid, Pendidikan Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme dalam Pendidikan Islam, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol.12, no.1, 2017.

Fakhrudin, Konsep Humanistik Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Kajian KeIslaman dan Kemasyarakatan, vol.1, no.2, 2016.

Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Hamdayama, Jumanta, Metodologi Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2016.

Maesaroh, Siti, Peranan Metode Pembelajaran Terhadap Minat dan Prestasi  Belajar Pendidikan Agama Islam, dalam Jurnal Kependidikan, vol.1, no.1, 2013.

Masduki, Orientasi Humanisme Pendidikan Islam, dalam Jurnal Madania, vol.2, no.1, 2012.

Munawar, M., Humanisasi Dalam Tujuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Inovatif,  vol.1, no.1, 2015.

Purnomo, Eko Nurhaji, Bukan Guru Asal Ngajar, Yogyakarta: Gava Media, 2012.

Ramli, M, Hakikat Pendidik dan Peserta Didik, dalam Jurnal Tarbiyah Islamiyah, vol.5, no.1, 2015.

Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Depok: Rajagrafindo Persada, 2014.

Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Tayibnapis, Farida Yusuf, Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Wigati, Indah dan Muhtarom, Paradigma Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini, dalam Jurnal UIN Raden Fatah.

Yuniar, Tanti, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Agung Media Mulia, tt.

 

Web:

https://kbbi.web.id/

 

 



[1] Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm.1.

[2] Masduki, Orientasi Humanisme Pendidikan Islam, dalam Jurnal Madania, vol.2, no.1, 2012, hlm.69-70. Di unduh pada tanggal 29 Maret 2020 dari  http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/madania/article/download/4693/3106

[3] Tanti Yuniar, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Agung Media Mulia, tt), hlm. 244.

[4] https://kbbi.web.id/humanisasi diakses pada tanggal 29 Maret 2020

[5] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini, dalam Jurnal UIN Raden Fatah, hlm.7-8. Di unduh pada tanggal 29 Maret 2020 dari http://jurnal.radenfatah.ac.idindex.phpraudhatulathfalarticledownload14771171

[6] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme (Aktualisasi Humanisme dalam Pendidikan Islam), Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol.12, no.1, 2017, hlm.3. Di unduh pada tanggal 29 Maret 2020 dari  https://www.researchgate.netpublication 330624862_PENDIDIKAN_ISLAM_DAN_HUMANISME_AKTUALISASI_HUMANISME_DALAM_PENDIDIKAN_ISLAMlink5c4b125ca6fdccd6b5c842bedownload

[7] Fakhrudin, Konsep Humanistik Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Kajian KeIslaman dan Kemasyarakatan, vol.1, no.2, 2016, hlm. 149. Di unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari http://journal.iaincurup.ac.idindex.phpJFarticledownload12874

[8] Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.174.

[9]Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam..., hlm.175.

[10] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini...,  hlm.9-10.

[11] Jumanta Hamdayama, Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), hlm.41

[12] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag, 1982), hlm.27.

[13]  M. Munawar, Humanisasi Dalam Tujuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Inovatif,  vol.1, no.1, 2015, hlm.96. Di unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari  http:// jurnal.staih.ac.idindex.phpinovatifarticledownload1414

[14] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.3-4

[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2010), hlm. 602.

[16] Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), hlm.73.

[17] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini...,  hlm.9.

[18] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.4-5.

[19] Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.58.

[20] M Ramli, Hakikat Pendidik dan Peserta Didik, dalam Jurnal Tarbiyah Islamiyah, vol.5, no.1, 2015, hlm. 63. Di unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari httpidr.uin-antasari.ac.id46261M%20Ramli_Hakikat%20Pendidik.pdf

[21] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.10.

[22] Eko Nurhaji Purnomo, Bukan Guru Asal Ngajar, (Yogyakarta: Gava Media, 2012), hlm.24.

[23] Siti Maesaroh, Peranan Metode Pembelajaran Terhadap Minat dan Prestasi  Belajar Pendidikan Agama Islam, dalam Jurnal Kependidikan, vol.1, no.1, 2013, hlm.155. Di unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari https://media.neliti.com/media/publications/104663-ID-peranan-metode-pembelajaran-terhadap-min.pdf

[24] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.11.

[25] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.11.

[26] Mohamad Ainul Churri dan Yudha Anggana Agung, Pengembangan Materi dan Media Pembelajaran Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejuruan Teknik Audio Video untuk Smk Negeri 7 Surabaya, dalam Jurnal Pendidikan Teknik Elektro, vol.2, no.2, 2013, hlm. 803-804. Di unduh pada tanggal 31 Maret 2020 dari https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-teknik-elektro/article/viewFile/4198/2053

[27] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.12.

[28] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm.1.

[29] Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.3.

[30] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm.16.

[31] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme..., hlm.13-14.


0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates