HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar dan mengambil
manfaat dari alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Islam menempatkan
pendidikan sebagai sesuatu yang esensi dalam kehidupan umat manusia. Melalui
pendidikan, manusia dapat membentuk kepribadiannya. Selain itu, manusia dapat
memahami dan mampu menerjemahkan lingkungan yang dihadapinya sehingga dapat
menciptakan suatu karya yang gemilang.
Pendidikan haruslah berorientasi pada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu
mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan
dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau
aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah
urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk
menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual,
bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi
persoalan yang dihadapi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian humanisasi
pendidikan Islam ?
2. Apa tujuan humanisasi pendidikan
Islam ?
3. Bagaimana pandangan Islam tentang
humanisasi pendidikan Islam ?
4. Bagaimana aktualisasi humanisasi
pendidikan Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk meengetahui pengertian
humanisasi pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui tujuan humanisasi
pendidikan Islam.
3. Untuk mengetahui pandangan Islam
tentang humanisasi pendidikan Islam.
4. Untuk mengetahui aktualisasi
humanisasi pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
HUMANISASI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian
Humanisasi Pendidikan Islam
Pendidikan dipercaya sebagai alat strategis
meningkatkan taraf hidup manusia. Melalui pendidikan manusia menjadi cerdas,
memiliki skill, sikap hidup yang baik sehingga dapat bergaul dengan baik
pula di masyarakat.[1] Pendidikan
merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik
buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya.
Pendidikan adalah sebuah investasi sumber daya manusia. Jika pendidikan yang
diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya
manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan
secara matang sehingga hasil yang dicapai pun memuaskan. Karena proses
pendidikan merupakan suatu proses yang
bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif)
tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan
manusia.[2]
Humanisasi menurut kamus bahasa Indonesia
berarti pemanusiaan[3]
atau penumbuhan rasa perikemanusiaan.[4]
Dalam Ensiklopedi agama dan filsafat yang ditulis oleh Mokhtar Effendi berasal
dari kata humanus yang artinya kemanusiaan, nama suatu aliran kebudayaan
dikalangan pelajar yang mencapai puncaknya pada abad ke-15 di Italia, bertujuan
mencari pengembangan segi rokhaniyah pada manusia secara mandiri. Humanisme
(modern) diartikan sebagai pandangan hidup yang ingin memahami manusia dan
kemanusiaan sebagai dasar dan tujuan dari segala dasar ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan agama.[5]
Adapun menurut Chabib Toha “Humanisme,
kemanusiaan adalah nilai-nilai obyektif yang dibatasi oleh kultur tertentu,
nilai kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai
kemanusiaan yang dibangun di atas fondasi individualisme dan demokrasi.”[6]
Humanisme dipandang sebagai sebuah
gagasan positif oleh kebanyakan orang.
Humanisme mengingatkan akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri
kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan.[7]
Pembahasan tentang humanisasi tentu tidak
luput pula dari pembahasan mengenai liberalisasi, demokratisasi, individualisasi.
Hal ini disebabkan keempat hal tersebut mempunyai visi yang sama yaitu
mengangkat eksistensi manusia sebagai makhluk yang sempurna di dunia. Jadi,
humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.
Dari sini diharapkan akan memunculkan sikap-sikap individu dalam masyarakat
yang lebih terbuka, merdeka, progresif, berwawasan luas, serta mempunyai
tanggung jawab pribadi sebagai bentuk dari kemandirian individu tersebut.
Senada dengan ungkapan-ungkapan di atas, Feisal memaknai humanisasi sebagai
memanusiawikan melalui pengertian lengkap bahwa manusia adalah makhluk Tuhan
yang sempurna.[8]
Selanjutnya menurut Feisal bahwa: “Manusia di
atas adalah manusia seutuhnya yang tak lain yaitu manusia yang memasyarakat,
adil, benar, jujur, harmonis dan secara alamiah mengakui Tuhan sebagai
pencipta, mengabdi kepada-Nya, gandrung untuk memaksimalkan potensi pribadinya,
bertanggung jawab kepada sesama manusia dalam masyarakat dan umatnya serta
ingin menemukan rahasia dalam memelihara dan mengembangkannya untuk kepentingan
dirinya, orang tuanya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, bahkan umat
manusia.”[9]
Sementara itu istilah di atas banyak
berkaitan erat dengan istilah demokratisasi yang mana bisa diartikan sebagai
pembebasan manusia atas ketergantungan terhadap realitas obyektif yang sering
menghambat manusia dalam mengembangkan diri untuk mencapai kualitas hidup di
luar parameter material. Dan jika ini dikaitkan dengan pendidikan, maka
demokratisasi berarti pembebasan pendidikan dan manusia yang terlibat
didalamnya dari struktur dan sistem serta perundangan yang menempatkan manusia
sebagai komponen. Sehingga jika ada proses-proses dominasi juga alienasi,
misalnya dalam konteks pendidikan, maka yang demikian itu termasuk tindakan
dehumanisasi, di mana di dalamnya tidak ada proses pemberdayaan, tetapi hanya
sebuah proses pemindahan ilmu pengetahuan dan menganggap bahwa kesadaran kritis
manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi, bukan sebagai
“hasrat”, intentiondari manusia terhadap
ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada “keterasingan” antara keduanya.
Secara teoritis, humanisasi dalam kehidupan
manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia
pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada
nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa penerapan asas demokrasi tidak mungkin
kreativitas manusia yang menjadi sumber bagi peningkatan hidup manusia dapat
hidup dan berkembang. Oleh karena itu, humanisasi dalam dunia pendidikan
menuntut proses pendidikan yang lebih memperhatikan pengembangan kreativitas
dalam kepribadian anak sebagai inti dari kehidupan demokratis yang sangat
menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia
pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih. mementingkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam proses pendidikan.
Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan
pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak. Humanisme dimaknai sebagai
potensi (kekuatan) individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan serta
mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Sementara itu, pendidikan Islam
merupakan suatu proses dalam membentuk manusia sesuai dengan cita-cita Islam.
Dengan demikian, humanisme dalam dunia pendidikan Islam merupakan proses
pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk
berketuhanan dan makhluk berkemanusiaan serta individu yang diberi kesempatan
oleh Allah untuk mengembangkan potensi-potensinya.[10]
B. Tujuan
Humanisasi Pendidikan Islam
Menurut teori humanistik, tujuan belajar
untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Humanisasi ini berusaha untuk memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Adapun tujuan utama para pendidik adalah
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli
humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu:
1. Proses memperoleh informasi baru
2. Personalia informasi ini pada
individu[11]
Menurut Zakiyah Darajat tujuan pendidikan
Islam adalah membimbing dan membentuk
manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan
berakhlak terpuji. Bahkan keseluruhan gerak dalam kehidupan setiap muslim,
mulai dari perkataan, perbuatan dan tindakan apapun yang dilakukan dengan mencari nilai ridha Allah, memenuhi segala
perintah-Nya adalah ibadah. Dengan demikian, identitas muslim akan tampak dalam
semua aspek kehidupannya.[12]
Jadi pendidikan akan menemukan tujuannya jika
nilai-nilai humanis tersebut masuk dalam diri peserta didiknya. Peserta didik
akan memiliki motivasi yang kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi sesama.
Peserta didik akan belajar terus agar memiliki pikiran yang cerdas kreatif, hati yang bersih,
tingkat spiritual yang tinggi dan kekuatan serta kesehatan fisik yang prima.
Semua keunggulan tersebut dimaksudkan untuk diabdikan kepada Tuhan dan untuk
memberikan kemashlahatan individual dan sosial yang optimal.[13]
C. Pandangan
Islam Terhadap Humanisasi Pendidikan Islam
Walaupun istilah humanisasi tampak
berkonotasi Barat, namun nilai-nilainya telah diajarkan Islam yaitu tentang
penghargaan terhadap eksistensi manusia yang merupakan makhluk beradab,
berfikir dan memiliki kesadaran. Di sini Islam dipandang sebagai agama
sekaligus sebuah sistem nilai. Dalam konteks pendidikan, Islam menempatkan
pendidikan pembebasan yang merupakan refleksi dari pemanusiaan manusia dalam
konfigurasi sistem pendidikan Islam yang sangat dipengaruhi oleh
prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.[14]
Secara historis, pendidikan pembebasan telah
diterapkan nabi Muhammad saw. dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju
transformasi sosial. Gerakan ini merupakan pembebasan dari eksploitasi,
penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Itu sebabnya
dalam al-Qur’an diterangkan bahwa orang-orang yang tidak mempunyai kepedulian
sosial berpredikat sebagai yang mendustakan agama, yaitu dalam ayat:
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ Ï9ºxsù Ï%©!$# íßt zOÏKuø9$# ÇËÈ wur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ ×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd crâä!#tã ÇÏÈ tbqãèuZôJtur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
Artinya:
Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.[15]
Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa Islam
itu memiliki potensi sebagai agama pembebasan. Islam juga mementingkan kasih
sayang dan seterusnya berimplikasi pada kepekaan manusia. Dalam kaitannya
dengan ini, Djuwaeli menjelaskan bahwa “Pendidikan Islam membentuk keberanian
moral bagi setiap peserta didik untuk senantiasa melakukan kegiatan-kegiatan
bermanfaat bagi semua manusia dan sebaliknya menghindari perbuatan-perbuatan
maksiat yang merugikan orang lain.”[16]
Selanjutnya humanisme dalam Islam dapat
berarti secara otomatis membicarakan tentang humanisme religius, humanisme
dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas. Manusia hidup di bumi
ini tidak lain mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah-Nya yang memiliki
seperangkat tanggungjawab, dalam hal ini tanggungjawab tersebut lebih
ditekankan pada tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan hidup.[17]
D. Aktualisasi
Humanisasi Pendidikan Islam
Secara teoritis, humanisasi dalam kehidupan
manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia
pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada
nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan
merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam
proses pendidikan. Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan
kreativitas dalam kepribadian anak.
Konsepsi Islam tentang pembebasan manusia
adalah ajaran tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, Isa dan Muhammad. Ajaran tauhid menunjukkan bahwa tidak ada
penyembahan kecuali kepada Tuhan. Selain itu, ajaran tauhid juga mengandung makna
tentang kebebasan manusia. Seseorang yang telah memilih jalan untuk tunduk
kepada Tuhan berarti telah menyatakan dirinya untuk lepas dari belenggu apapun.
Oleh karena itu misi terbesar dari Islam adalah pembebasan manusia.
Dengan kata lain, Islam
adalah agama yang sarat akan kekuatan pembebas (liberating force) bagi
manusia. Namun kenyataannya, pendidikan
Islam justru masih terkungkung
oleh hegemoni Barat.Oleh karena itu, pendidikan
Islam pun dituntut untuk
menggunakan prinsip-prinsip “pembebasan” sebagai wujud nyata dari Islam
sebagai agama pembebasan. Jadi, pendidikan Islam
adalah “paradigma pembebasan” merupakan sebuah keniscayaan ; condition sine quanon. Diterimanya prinsip
dikotomik antara ilmu agama dan ilmu
sekuler dalam dunia pendidikan Islam,
jelas menunjukkan bahwa fondasi pandangan dasar pendidikan di negara-negara Muslim. Selain itu pun, dikotomi ini
diperkuat oleh penjajahan Barat atas dunia Islam yang berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama.
Dengan demikian, pendidikan Islam--sebagai proses yang disandarkan pada
nilai-nilai ideal Islam secara benar dan
proporsional--memang seharusnya meletakkan kebebasan manusia sebagai dasar
pijakan operasional sekaligus sebagai tujuan pendidikan itu sendiri. Melihat realitas tersebut, nampak jelas bahwa
urgensi pendidikan Islam yang dibutuhkan
oleh umat dalam masa sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan
kekuatan pembebas manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan dan mampu dalam mengendalikan
perubahan yang sedang dan akan dialaminya. Misi pendidikan Islam
yang utama berarti harus membebaskan manusia dari kungkungan dan kejumudan
berbagai aliran pemikiran dan filsafat yang memandang bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan. [18]
Adapun implementasi humanisme dalam
pendidikan Islam tidak akan terlepas dari beberapa komponen
pendidikan yang ikut andil dalam menentukan berhasil tidaknya usaha ini.
Di bawah ini akan dipaparkan
komponen-komponen tersebut secara terperinci:
1. Pendidik
Pendidik
merupakan salah satu faktor penentu yang sangat penting dalam sebuah sistem pendidikan.[19]
Dalam konsep humanisasi pendidikan Islam, pendidik bukanlah
tokoh utama dalam proses pembelajaran, yang dapat mendominasi forum.
Pendidik dalam Islam adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik juga adalah orang yang mempunyai
tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani seseorang yakni dari segi
pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan, serta aspek spiritual dalam
upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut sesuai
dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga menjadi insan yang berakhlakul
karimah.[20]
Seorang
pendidik, seyogyanya selalu
meningkatkan interaksi, menciptakan kondisi forum sehingga terbina partisipasi
aktif dari peserta didik serta
memberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk mengembangkan potensi masing-masing individu. Sehingga fungsi
pendidik di sini hanya sebagai inovator
dan motivator. Jelasnya, pendidik haruslah membudayakan komunikasi dua arah,
sehingga akan tercipta suasana yang
demokratis dalam proses pembelajaran.[21]
2. Metode
Setiap
sistem pendidikan tentu saja mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan paradigma
yang dipakai. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa komponen
pendukung, Salah satunya
adalah metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran.
Metode berarti cara atau alat yang digunakan
untuk mengimplementasikan rencana atau materi yang sudah disusun dalam bentuk
kegiatan nyata dalam pelaksanaan pendidikan.[22]
Materi pelajaran yang mudah pun kadang-kadang sulit berkembang dan sulit
diterima oleh peserta didik, karena cara atau metode yang digunakannya kurang
tepat. Namun, sebaliknya suatu pelajaran yang sulit akan mudah diterima oleh
peserta didik, karena penyampaian dan metode yang digunakan mudah dipahami,
tepat dan menarik.[23]
Dalam
konsep humanisasi pendidikan Islam,
sudah tidak layak lagi seorang pendidik
yang menggunakan paradigma lama dalam rangka mengaplikasikan suatu metode tertentu yaitu
dengan menganggap peserta didik sebagai
obyek pembelajaran yang harus mendapat masukan ilmu terus-menerus tanpa mempedulikan berbagai
potensi yang dimiliki oleh peserta
didik. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah dengan dua jabatan sekaligus (yakni Abdullah
dan Khalifatullah), peserta didik merupakan individu yang utuh, sehingga metode yang
tepat seyogyanya adalah metode yang
dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam rangka merekatkan
baik keterhubungan dengan Tuhan, hablum
minallah, maupun keterhubungan dengan
sesama manusia, hablum minannas, di mana
keduanya merupakan pengejawantahan dari
peran Abdullah dan Khalifatullah tersebut.
Menurut Mas’ud, untuk mencapai tujuan
tersebut, diperlukan suatu proses becoming
dan educating bagi peserta didik serta proses liberating, dan civilizing bagi pendidik, dimana yang menjadi sasaran utama adalah proses humanisasi dalam pembelajaran
tersebut.[24]
3. Peserta Didik
Peserta didik merupakan subjek pendidikan,
karena merekalah yang belajar, memiliki
tujuan dan pewaris masa depan. Sedangkan pendidikan ibarat sebuah busur panah, tempat mengarahkan
peserta didik menuju sasaran itu.
Peserta didik atau yang kita kenal
dengan sebutan murid, dalam bahasa Arab
yang artinya pencari (ilmu). Hal ini menunjukkan adanya peran aktif dari peserta didik
tersebut dalam proses pembelajaran.
Hal ini diperkuat pula dengan adanya peran
utama peserta didik sebagai manusia di
muka bumi sebagai khalifah, sehingga
mereka memiliki sejumlah kemampuan untuk
memilih dan bertindak, walaupun sifatnya tidak mutlak.
Dengan kedua paradigma ini diharapkan
pendidikan akan menunjukkan fungsi aslinya sebagai media dalam membebaskan
manusia dari segala bentuk dominasi dan
alienasi, serta mengembangkan segala
potensi manusia itu sebagai proses humanisasi. Hal ini akan mudah dicapai dengan adanya komunikasi dan motivasi
dalam sebuah proses pembelajaran.
Pendidikan bisa berlangsung dengan baik, manakala di dalamnya terjadi komunikasi timbal balik (two
ways communication) antara pendidik
dan peserta didik. Dengan komunikasi ini
pendidik tidak dapat memaksakan pikirannya kepada peserta didik.
Karena pemaksaan apapun jenisnya, tidak
akan mampu menggali dan menumbuhkan motivasi
belajar pada peserta didik. Dengan pemaksaan ini pula, peserta
didik hanya diajari untuk beradaptasi
bukannya berintegrasi.
Kondisi semacam ini (dimulai dari dialog
hingga penumbuhan motivasi yang pada akhirnya berimplikasi pada pengintegrasian),
akan menciptakan interaksi pendidikan dimana
pendidik dan murid sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan
manusiawi. Hal yang demikian dapat
menumbuhkan kepercayaan diri, karena hidupnya
terasa bermakna, serta apa yang
mereka hasilkan tidak sia-sia, melainkan mendapat penghargaan yang setimpal.[25]
4. Materi
Salah satu aspek penting dalam pendidikan
adalah materi. Materi yang akan
disajikan dalam sebuah proses pembelajaran, sebaiknya disesuaikan dengan tujuan
pendidikan itu sendiri. Materi yang ditentukan dalam kegiatan pembelajaran
seharusnya adalah materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.[26]
Selain itu, kondisi peserta didik,
pengajar, sarana, metode dan sebagainya yang memungkinkan dalam melaksanakan
atau mengkaji materi tersebut. Maka isi
atau materi pelajaran dapat diidentikkan dengan proses belajar.[27]
5. Evaluasi
Evaluasi dapat diartikan sebagai penilaian
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.[28]
Evaluasi juga bisa diartikan sebagai proses yang menentukan sampai sejauh mana
tujuan pendidikan dapat dicapai.[29]
Fungsi evaluasi ini diantaranya adalah untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan suatu program.[30]
Perlu diketahui bahwa di dalam sistem humanisasi pendidikan Islam
tidak mengenal adanya
diskriminasi serta dominasi dari satu pihak ke pihak terhadap pihak yang lain (misalnya seorang pendidik
terhadap peserta didik). Keduanya merupakan individu yang sama-sama mempunyai tanggung
jawab sebagai Khalifatullah dan Abdullah. Dalam pandangan Islam, prinsip egalitarian merupakan pengejawantahan dari kenyataan
tauhid dimana kedudukan manusia di
hadapan Tuhan adalah sama, dan pada hakikatnya manusia adalah satu, karena
berasal dari Yang Maha Esa.
Implementasi konsep tersebut dalam evaluasi
pendidikan tercermin dengan adanya evaluasi dua arah antara pendidik dan
peserta didik. Hal ini dikarenakan
keduanya berada dalam “gerbong” pembelajaran yang sama, untuk menuju tujuan yang sama pula. Jadi
mereka merupakan mitra yang sama-sama
mempunyai kepribadian, tanggung jawab, hak asasi, sehingga terdapat konsekuensi
untuk saling mengevaluasi di antara keduanya.
Oleh karena tujuan pendidikan Islam
sebagaimana disinggung pada
uraian-uraian sebelumnya
adalah upaya mewujudkan
individu secara holistik, insan
kamil dalam segala aspek, potensi dan sebagainya yang dimiliki,
maka evaluasi yang diberlakukan juga
harus menyentuh segala hal tersebut.
Evaluasi tidak boleh menafikan salah satu
domain dalam proses pembelajaran. Jadi, selain domain kognitif, kedua domain
lainnya yakni afektif dan psikomotorik
juga turut dievaluasi. Selain itu berbagai
kecerdasan yang dimiliki individu-individu, baik kecerdasan
intelektual, emosional maupun spiritual
pun tidak boleh terlupa dari proses evaluasi.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses
evaluasi yaitu bahwa evaluasi tidak
hanya dilakukan sekali pada waktu tertentu saja, tetapi harus dilakukan secara terus menerus (continue)
dan berkesinambungan serta dimanapun
proses tersebut dilaksanakan. Hal ini menandakan bahwa proses atau
means lebih penting daripada
tujuan.[31]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Humanisasi secara bahasa berarti pemanusiaan
atau penumbuhan rasa perikemanusiaan. Humanisasi menurut Chabib Toha adalah
nilai-nilai obyektif yang dibatasi oleh kultur tertentu, nilai kebebasan,
kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaan yang
dibangun di atas fondasi individualisme dan demokrasi. Humanisme (modern)
diartikan sebagai pandangan hidup yang ingin memahami manusia dan kemanusiaan
sebagai dasar dan tujuan dari segala dasar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
agama.
Menurut teori humanistik, tujuan belajar
untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, yaitu: Proses memperoleh informasi baru dan
personalia informasi ini pada individu.
Secara historis, humanisasi atau pendidikan
pembebasan telah diterapkan nabi Muhammad saw. dalam strategi gerakan dakwah
Islam menuju transformasi sosial. Gerakan ini merupakan pembebasan dari
eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Churri, Mohamad Ainul dan Yudha
Anggana Agung, Pengembangan Materi dan Media Pembelajaran Mata Pelajaran
Dasar Kompetensi Kejuruan Teknik Audio Video untuk Smk Negeri 7 Surabaya,
dalam Jurnal Pendidikan Teknik Elektro, vol.2, no.2, 2013.
Darajat, Zakiyah, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Depag, 1982.
Daryanto,
Evaluasi Pendidikan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2014.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2010.
Djuwaeli, Irsjad, Pembaruan
Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul
Anwar, 1998.
Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2015.
Fad, M. Farid, Pendidikan Islam
dan Humanisme Aktualisasi Humanisme dalam Pendidikan Islam, Edukasia:
Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol.12, no.1, 2017.
Fakhrudin, Konsep Humanistik
Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Kajian KeIslaman
dan Kemasyarakatan, vol.1, no.2, 2016.
Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi
Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Hamdayama,
Jumanta, Metodologi Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2016.
Maesaroh, Siti, Peranan Metode
Pembelajaran Terhadap Minat dan Prestasi
Belajar Pendidikan Agama Islam, dalam Jurnal Kependidikan, vol.1, no.1, 2013.
Masduki, Orientasi Humanisme
Pendidikan Islam, dalam Jurnal Madania, vol.2, no.1, 2012.
Munawar, M., Humanisasi Dalam
Tujuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Inovatif, vol.1, no.1, 2015.
Purnomo,
Eko Nurhaji, Bukan Guru Asal Ngajar, Yogyakarta: Gava Media, 2012.
Ramli, M, Hakikat Pendidik dan
Peserta Didik, dalam Jurnal Tarbiyah Islamiyah, vol.5, no.1, 2015.
Rusman, Model-Model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Depok: Rajagrafindo
Persada, 2014.
Sudijono, Anas, Pengantar
Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Tayibnapis, Farida Yusuf, Evaluasi
Program dan Instrumen Evaluasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Wigati, Indah dan Muhtarom, Paradigma
Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini, dalam Jurnal UIN Raden
Fatah.
Yuniar,
Tanti, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Agung Media Mulia, tt.
Web:
[1] Engkoswara dan
Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm.1.
[2] Masduki, Orientasi Humanisme Pendidikan Islam,
dalam Jurnal Madania, vol.2, no.1, 2012, hlm.69-70. Di unduh pada tanggal 29
Maret 2020 dari
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/madania/article/download/4693/3106
[3] Tanti Yuniar, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Agung Media Mulia, tt), hlm. 244.
[4] https://kbbi.web.id/humanisasi diakses pada tanggal 29 Maret 2020
[5] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma
Humanisme Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini, dalam Jurnal UIN Raden
Fatah, hlm.7-8. Di unduh pada tanggal 29 Maret 2020 dari
http://jurnal.radenfatah.ac.idindex.phpraudhatulathfalarticledownload14771171
[6] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme
(Aktualisasi Humanisme dalam Pendidikan Islam), Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, vol.12, no.1, 2017, hlm.3. Di unduh pada tanggal 29 Maret
2020 dari https://www.researchgate.netpublication
330624862_PENDIDIKAN_ISLAM_DAN_HUMANISME_AKTUALISASI_HUMANISME_DALAM_PENDIDIKAN_ISLAMlink5c4b125ca6fdccd6b5c842bedownload
[7] Fakhrudin, Konsep
Humanistik Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Kajian KeIslaman dan
Kemasyarakatan, vol.1, no.2, 2016, hlm. 149. Di unduh pada tanggal 30 Maret
2020 dari http://journal.iaincurup.ac.idindex.phpJFarticledownload12874
[8] Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.174.
[9]Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam...,
hlm.175.
[10] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma Humanisme
Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini...,
hlm.9-10.
[11] Jumanta Hamdayama, Metodologi Pengajaran,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2016), hlm.41
[12] Zakiyah
Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag, 1982), hlm.27.
[13] M. Munawar, Humanisasi Dalam Tujuan
Pendidikan Islam, dalam
Jurnal Inovatif, vol.1, no.1, 2015, hlm.96.
Di unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari http:// jurnal.staih.ac.idindex.phpinovatifarticledownload1414
[14] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.3-4
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Bandung: Diponegoro, 2010), hlm. 602.
[16] Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam,
(Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), hlm.73.
[17] Indah Wigati dan Muhtarom, Paradigma Humanisme
Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini...,
hlm.9.
[18] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.4-5.
[19] Rusman, Model-Model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Depok: Rajagrafindo
Persada, 2014), hlm.58.
[20] M Ramli, Hakikat Pendidik dan Peserta Didik,
dalam Jurnal Tarbiyah Islamiyah, vol.5, no.1, 2015, hlm. 63. Di unduh pada
tanggal 30 Maret 2020 dari
httpidr.uin-antasari.ac.id46261M%20Ramli_Hakikat%20Pendidik.pdf
[21] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.10.
[22] Eko Nurhaji Purnomo, Bukan Guru Asal Ngajar,
(Yogyakarta: Gava Media, 2012), hlm.24.
[23] Siti Maesaroh, Peranan Metode Pembelajaran Terhadap
Minat dan Prestasi Belajar Pendidikan
Agama Islam, dalam Jurnal Kependidikan, vol.1, no.1, 2013, hlm.155. Di
unduh pada tanggal 30 Maret 2020 dari
https://media.neliti.com/media/publications/104663-ID-peranan-metode-pembelajaran-terhadap-min.pdf
[24] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.11.
[25] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.11.
[26]
Mohamad Ainul Churri dan Yudha Anggana Agung, Pengembangan
Materi dan Media Pembelajaran Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejuruan Teknik
Audio Video untuk Smk Negeri 7 Surabaya, dalam Jurnal Pendidikan Teknik
Elektro, vol.2, no.2, 2013, hlm. 803-804. Di unduh pada tanggal 31 Maret 2020
dari https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-teknik-elektro/article/viewFile/4198/2053
[27] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.12.
[28] Anas Sudijono,
Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm.1.
[29] Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program dan
Instrumen Evaluasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.3.
[30] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm.16.
[31] M. Farid Fad, Pendidikan Islam dan Humanisme...,
hlm.13-14.
0 comments:
Posting Komentar