Social Icons

Senin, 03 Juni 2024

MADRASAH DAN MOBILITAS SOSIAL

 

MADRASAH DAN MOBILITAS SOSIAL

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kemunculan Madrasah menjadi penting bagi perkembangan dan kemajuan budaya Islam yang tujuan utamanya ingin mengembangkan pendidikan Islam, dan menyebar luaskan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan madrasah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu menuju lembaga yang lebih baik, untuk saat ini sudah banyak mengalami kemajuan, sehingga terbentuk seperti sekolah-sekolah modern adapun bentuk-bentuk atau tingkatan-tigkatannya adalah Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, dan dengan penbagian-pembagian tingkatan tersebut di yakini mampu mempermudah santri atau pelajar-pelajar yang belajar di madrasah.

Adapun mobilitas sosial merupakan perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang. Contoh lain, seorang anak pengusaha ingin mengikuti jejak ayahnya yang berhasil. Ia melakukan investasi di suatu bidang yang berbeda dengan ayahnya. Namun, ia gagal dan akhirnya jatuh miskin. Proses perpindahan posisi atau status sosial yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial (social mobility).


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.        Pengertian Madrasah

Madrasah sebagai salah satu pilar dari pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan yang sudah dikenal sejak tahun 1065-1067 di Baghdad yang didirikan oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada masa kekhalifahan Bani Saljuk. Oleh karena itu madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah Nizamiyah. Menurut al-Jumbulati, sebelum abad ke-10 sudah ada madrasah yang didirikan yaitu madrasah al-Baihaqiyah di kota Naisabur.[1]

Kata “madrasah” berasal dari isim makan dari kata “darasa-yadrusu-darsan” yang berarti tempat belajar, terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih dan mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka madrasah berarti tempat untuk mencerdaskan peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan, memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Madrasah juga mempunyai arti tempat pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada dibawah naungan depatemen agama.[2]

Istilah madrasah sudah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan, terutama perguruan tinggi Islam. Madrasah tidak lain adalah kata lain sekolah, artinya tempat belajar. Istilah madrasah di tanah Arab ditunjukkuan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditunjukkan untuk sekolah bercorak Islam, mata pelajaran dasarnya pun lebih banyak tentang ilmu keagamaan Islam.[3]

Lahirnya madrasah merupakan merupakan kelanjutan dunia pesantren yang didalamnya terdapat unsur-unsur pokok dari pesantren. Unsur-unsur tersebut adalah kyai (pengasuh), santri, pondok, masjid dan mata pelajarannya tentang agama Islam. Sedangkan pada sistem madrasah tidak harus ada pondok, masjid, pengajian kitab dan lain sebagainya. Unsur-unsur yang di utamakan di madrasah yaitu pimpinan (kepala sekolah), guru, siswa, media pembelajaran (perangkan keras dan perangkat lunak) serta mata pelajaran agama islam. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik akan cepat berkembang dengan percepatan kemajuan iptek dan berkembangnya zaman, sehingga madrasah pada dasarnya sebagai wahana untuk mengembangkan kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan, sikap dan keterampilan serta bekelanjutan.[4]

Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam mempunyai peran amat strategis dalam kerangka peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Peran strategis ini, menurut Hafid Abbas dikarenakan Indonesia sebagai negara keempat berpenduduk terbesar di dunia yang memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia. Mereka ini memerlukan Iayanan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dan berciri khas IsIam.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun I989 hingga sekarang telah disempurnakan Iagi menjadi undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, keduanya mengakui eksistensi madrasah sebagai sub-sistem pendidikan nasional. Penerapan kedua undang-undang ini sebagai respon dan upaya pemerintah untuk menjadikan madrasah sebagai “center of excellence” atau pusat keunggulan dan memiliki nilai plus. Unggulan atau nilai plus di sini, bahwa madrasah memiliki keunggulan komperatif, yaitu penekanan yang signifikan pada pendidikan agama dan akhlak (moralitas/imtaq) di satu sisi, dan penekanan yang signifikan pada pendidikan umum (iptek) di sisi lain.[5]

 

B.        Sejarah Munculnya Madrasah Di Indonesia

 Munculnya madrasah di Indonesia merupakan fenomena moderen yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Tidak ada kejelasan hubungan madrasah abad ke 11-12 di timur tengah dengan munculnya madrasah di Indonesia pada awal abad ke-20. Jika dikembalikan pada situasi awal abad ke-20 sejarah berkembangnya madrasah di Indonesia dianggap memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah masa moderen. Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah umum tanpa memasukkan pelajaran agama.[6]

Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tidak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga. Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 merupakan madrasah pertama yang didirikan di Indonesia, kemudian diikuti oleh beberapa madarasah lainnya: Diniyah School Labay al-Yunusiy (1915) di Sumatera Barat, Madrasah Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jam’iyat Khair di Jakarta, yang kemudian bermunculan madrasah-madrasah di setiap daerah di wilayah Indonesia.[7]

Madrasah berkembang di jawa mulai 1912, ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad (1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di Indonesia.

Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahir dan tumbuhnya madrasah di Indonesia, yakni faktor adanya respon terhadap politik kolonial Belanda dan faktor munculnya pembaharuan pemikiran keagamaan, yakni dengan munculnya gerakan pembaruan yang dimotori oleh tokoh intelektual muslim diberbagai daerah dan organisasi sosial keagamaan. Berkat dukungan politik pemerintah Indonesia dan dengan dikeluarkannya keputusan bersama menteri serta UU Sistem Pendidikan Nasional, maka semakin memperkuat posisi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Pasang surut pertumbuhan dan perkembangan madrasah seiring dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kerajaan Islam, masa penjajahan dan masa kemerdekaan telah mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, kurikulum, metode maupun struktur organisasinya. Di era global ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, maka madrasah harus mampu menjawab tantangan ini. Salah satu cara untuk dapat menjawab tantangan tersebut adalah madrasah harus berani melakukakan perubahan-perubahan serta mengadakan inovasi dan pengembangan terhadap kurikulumnya agar tetap eksis dan bertahan.

 

C.        Ciri-ciri Madrasah

Adapun ciri-ciri madrasah diantaranya adalah:

1.      Mata pelajarannya tentang keagamaan, yang dijabarkan menjadi beberapa mata pelajaran, yaitu: Al-Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab, sehingga sehingga mata pelajaran pendidikan Islam lebih banyak.

2.      Suasana keagamaannya, yang berupa: suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metodenya yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia.[8]

 

 

Di madrasah para siswinya memakai jilbab dan siswanya memakai celana panjang, sedangakan pada sekolah non madrasah para siswinya memakai baju rok dan siswanya memakai celana pendek untuk tingkat SLTP, sedangkan pada tingkat SMU siswanya memakai celana panjang dan siswinya memakai baju rok dan boleh juga memakai kerudung.

Di madrasah juga apabila siswa-siswinya berjumpa dengan siswa-siswi lain, atau berjumpa dengan guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya maka mereka akan saling mengucapkan salam (Assalamu’alaikum). Sedangkan disekolah non madrasah bisa bermacam-macam, ada selamat pagi, selamat siang dan selamat sore, dan ada yang saling mengucapkan salam.

 

D.        Jenis-jenis Madrasah

Adanya madrasah merupakan salah satu lembaga formal yang di dirikan oleh masyarakat untuk belajar. adapun madrasah itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu:

1.      Pendidikan dasar (MI)

            Merupakan jenjang yang melandasi jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang sederajat dengan Sekolah Dasar (SD). Madarasah ibtidaiyyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar.

Adapun tujuan umum dari Madrasah Ibtidaiyyah adalah agar murid:

a.       Memiliki sikap dasar sebagai seorang muslim yang bertakwa dan berakhlakul mulia.

b.      Memiliki kemampuan dasar untuk melaksanakan tugas hidupnya dalam masyarakat dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.      Pendidikan menengah pertama berbentuk Madrasah Tsanawiyah (MTS)

Madrasah Tsanawiyah ini sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Adapun tujuan umum Madrasah Tsanawiyah adalah:

a.       Menjadi seorang muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya.

b.      Memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang lebih luas serta sikap yang di perlukan untuk melanjutkan pelajaran ke Madrasah Aliyah atau sekolah lanjutan atas lainnya, atau untuk dapat berbakti dalam masyarakat sambil mengembangkan diri guna mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

3.      Madrasah aliyah

Merupakan lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah atas, pendidikan menengah terdiri pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan, pendidikan menengah berbentuk Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan bentuk lain yang sederajat.

Adapun tujuan umum Madrasah Aliyah adalah:

a.         Menjadi seorang muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang benar.

b.        Memilki ilmu pengetahuan agama dan umum yang lebih luas dan mendalam serta pengalaman, keterampilan dan kemampuan yang di perlukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. [9]

 

E.        Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial merupakan salah satu konsep penting dalam sosiologi. Secara etimologis, ”mobilitas” berasal dari bahasa Latin ”mobilis” yang berarti mudah dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain secara sosial. Mobilitas sosial merupakan suatu bentuk dinamika dalam struktur sosial. Gerak dan perubahan yang terjadi di dalam struktur sosial merupakan cermin adanya mobilitas sosial (social mobility). Misalnya, seorang murid yang melanjutkan kuliah setelah lulus, mengalami mobilitas sosial naik berdasarkan level pendidikan formalnya. Seorang murid yang menjadi manajer setelah lulus juga mengalami mobilitas sosial naik berdasarkan status sosialnya.[10]

Adapun tipe-tipe gerak sosial (mobilitas sosial) ada dua macam, yaitu gerak sosial yang horizontal dan vertikal:

1.      Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Contohnya seseorang yang beralih kewarganegaraan beralih pekerjaan yang sederajat. Dengan adanya gerak sosial horizontal, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu objek sosial.

2.      Gerak  sosial vertikal merupakan perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial kekedudukan lainnya, yang tidak sederajat. Terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik (sosial-climbing) dan yang turun (sosial-sinking).[11]

 

 

F.         Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Sosial

1.      Faktor Struktural

Faktor struktural adalah jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Contohnya ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar kerja.

a.         Struktur Pekerjaan

  Sebuah masyarakat yang kegiatan ekonominya berbasis industri dengan teknologi canggih, tentunya yang berstatus tinggi akan lebih banyak dibandingkan dengan yang berkedudukan rendah. Sehingga untuk itu yang berkedudukan rendah akan terpacu untuk menaikkan kedudukan sosial ekonominya.

b.        Perbedaan Fertilitas

  Setiap masyarakat memiliki tingkat fertilitas (kelahiran) yang berbeda-beda. Tingkat fertilitas akan berhubungan erat dengan jumlah jenis pekerjaan yang mempunyai kedudukan tinggi  atau rendah. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap proses mobilitas sosial yang akan berlangsung.

c.         Ekonomi Ganda

  Setiap negara yang menerapkan sistem ekonomi ganda (tradisional dan modern) sebagaimana terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika, tentunya akan berdampak pada jumlah pekerjaan, baik yang berstatus tinggi maupun yang rendah. Bagi masyarakat yang berada dalam tekanan sistem ekonomi ganda seperti ini, mobilitasnya tergantung pada keberhasilan dalam melakukan pekerjaan di bidang yang diminatinya karena dalam masyarakat seperti ini (modern) kenaikan status sosial sangat dipengaruhi oleh faktor prestasi.

2.      Faktor Individu

Faktor individu ini lebih menekankan pada kualitas dari orang perorang, baik dilihat dari tingkat pendidikan, penampilan maupun keterampilan pribadinya.

a.       Perbedaan Kemampuan

Setiap inidvidu memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

b.      Orientasi Sikap Terhadap Mobilitas

Setiap individu memiliki cara yang beragam dalam mengupayakan meningkatkan prospek mobilias sosialnya.

d.        Faktor Kemujuran

Usaha adalah sebagai proses untuk meraih kesuksesan. Tetapi kemujuran tetap berada pada posisi yang tidak bisa kita anggap sepele.

3.      Faktor Status Sosial

Status sosial orang tua akan terwarisi kepada anak-anaknya.

 

 

4.      Faktor Keadaan Ekonomi

Masyarakat desa yang melakukan urbanisasi karena akibat himpitan ekonomi di desa. Masyarakat ini kemudian bisa dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami mobilitas.

5.      Faktor Situasi Politik

Kondisi politik suatu negara dapat menjadi penyebab terjadinya mobilitas sosial. Karena dengan kondisi politik yang tidak menentu akan sangat berpengaruh terhadap struktur keamanan. Sehingga, memunculkan sebuah keinginan masyarakat untuk pindah ke daerah yang lebih aman.

6.      Faktor Kependudukan (demografi)

Dengan pertambahan jumlah penduduk yang pesat dapat mengakibatkan sempitnya lahan pemukiman dan mewabahnya kemiskinan, sehingga menuntut masyarakat untuk melakukan transmigrasi.

7.      Keinginan melihat daerah lain

Apabila keinginan melihat daerah lain itu dikuasai oleh jiwa (mentalitas) mengembara, biasanya kuantitas mobilitas agak terbatas pada orang-orang atau suku bangsa tertentu. Suku minangkabau dan suku Batak misalnya, sering dikatakan memiliki jiwa petualang. Ada semacam naluri yang hidup didalam jiwa pemuda Minang dan batak untuk merantau ke daerah lain, atau melihat kehidupan di kota lain, sebelum mereka menjalankan pekerjaannya ditempat yang tetap.[12]

 

 

G.       Dampak Mobilitas Sosial Terhadap Komposisi Penduduk

Mobilitas sosial mempunyai dampak positif dan dampak negatif, yaitu:

1.      Dampak Positif

Bisa memberikan motivasi bagi masyarakat untuk maju dan berprestasi agar dapat memperoleh status yang lebih tinggi.

2.      Dampak Negatif

Setiap perubahan (mobilitas) pasti akan memiliki dampak negatif, dan hal itu bisa berupa konflik. Dalam masyarakat bayak ragam konflik yang mungkin terjadi akibat dari terjadinya mobilitas ini, seperti terjadinya konflik antar kelas, antar generasi, antar kelompok dan lain sebagainya. Sehingga akan berakibat pada menurunnya solidaritas baik kelompok atau antar kelompok.


 

BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang mampu menkombinasikan pendidikan yang bersifat keIslaman dan yang bersifat umum. Madrasah sudah ada sejak abad ke-5 namun madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20.

Seiring perkembangannya madrasah semakin maju dan tingkat pendidikannya seperti sekolah modern, adapun tingkat-tingkatanya yang sering di sebut adalah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsamawiyah, dan Madrasah Aliyah, hal ini di bentuk agar mudahnya untuk mendidik para pelajarnya.

Adapun mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang dari strata sosial  yang satu ke strata sosial  yang lain.

Tipe-tipe mobilitas sosial yang prinsipil ada dua, yaitu:

1.      Horizontal, yaitu apabila individu atau objek sosial lainnya berpindah dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.

2.      Vertikal, yaitu apabila individu atau objek sosial lainnya berpindah dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat dua jenis gerak vertikal, yaitu yang naik (social climbing) dan yang turun (social sinking)

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Junbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M.Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Dirjen Kelembagaan Agama lslam Direktorat Madrasah dan PAI di Sekolah Umum, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan, Dinamika, dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama Rl, 2004

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Penerbit Nuansa, 2010.

________, Wacana Pengembanga Pendidikan Islam, Surabaya: Pustaka Belajar, 2004

Nasir, M. Ridlwan, Format Pendidikan Ideal (Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan), Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.

Nata, Abudin, Menejemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia), Jakarta: Kencaana Prenada Media Group, 2010.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Syatra, Abdul Khafi, Buku Pintar Sosiologi, Yogyakarta: Garailmu, 2010.

 

Web:

http://sosiologis.com/mobilitas-sosial


[1] Ali al-Junbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M.Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm.30.

[2]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010), hlm.19.

[3] M. Ridlwan Nasir, Format Pendidikan Ideal (Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan), (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hlm.90-91.

[4] M. Ridlwan Nasir, Format Pendidikan Ideal (Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan)..., hlm.90-91.

[5] Dirjen Kelembagaan Agama lslam Direktorat Madrasah dan PAI di Sekolah Umum, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan, Dinamika, dan Perkembangannya di Indonesia, ( Jakarta: Departemen Agama Rl, 2004) hlm. I65.

[6] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.82.

[7] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya..., hlm.24.

[8] Muhaimin, Wacana Pengembanga Pendidikan Islam, (Surabaya: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 178-179.

[9] Abudin Nata, Menejemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia), (Jakarta: Kencaana Prenada Media Group, 2010),  hlm.299.

[11]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 220.

[12] Abdul Khafi Syatra, Buku Pintar Sosiologi, (Yogyakarta: Garailmu, 2010), hlm.183-187.

0 comments:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates