MADRASAH DAN MOBILITAS SOSIAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemunculan
Madrasah menjadi penting bagi perkembangan dan kemajuan budaya Islam yang
tujuan utamanya ingin mengembangkan pendidikan Islam, dan menyebar luaskan
ajaran-ajaran Islam. Pendidikan madrasah mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu menuju lembaga yang lebih baik, untuk saat ini sudah banyak mengalami
kemajuan, sehingga terbentuk seperti sekolah-sekolah modern adapun
bentuk-bentuk atau tingkatan-tigkatannya adalah Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah
dan Aliyah, dan dengan penbagian-pembagian tingkatan tersebut di yakini mampu
mempermudah santri atau pelajar-pelajar yang belajar di madrasah.
Adapun
mobilitas sosial merupakan perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun
penurunan status dan peran anggotanya. Misalnya, seorang pensiunan pegawai
rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan
berhasil dengan gemilang. Contoh lain, seorang anak pengusaha ingin mengikuti
jejak ayahnya yang berhasil. Ia melakukan investasi di suatu bidang yang
berbeda dengan ayahnya. Namun, ia gagal dan akhirnya jatuh miskin. Proses
perpindahan posisi atau status sosial yang dialami oleh seseorang
atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat inilah yang
disebut gerak sosial atau mobilitas sosial (social mobility).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Madrasah
Madrasah sebagai salah satu pilar dari
pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan yang sudah dikenal sejak tahun
1065-1067 di Baghdad yang didirikan oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri
pada masa kekhalifahan Bani Saljuk. Oleh karena itu madrasah ini dikenal dengan
sebutan madrasah Nizamiyah. Menurut al-Jumbulati, sebelum abad ke-10 sudah ada
madrasah yang didirikan yaitu madrasah al-Baihaqiyah di kota Naisabur.[1]
Kata “madrasah” berasal dari isim makan
dari kata “darasa-yadrusu-darsan” yang berarti tempat belajar, terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih dan mempelajari. Dilihat dari
pengertian ini, maka madrasah berarti tempat untuk mencerdaskan
peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan, memberantas kebodohan, serta
melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan peserta
didik. Madrasah juga mempunyai arti tempat pendidikan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran yang berada dibawah naungan depatemen agama.[2]
Istilah madrasah sudah menyatu dengan istilah
sekolah atau perguruan, terutama perguruan tinggi Islam. Madrasah tidak
lain adalah kata lain sekolah, artinya tempat belajar. Istilah madrasah di
tanah Arab ditunjukkuan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia
ditunjukkan untuk sekolah bercorak Islam, mata pelajaran dasarnya pun lebih
banyak tentang ilmu keagamaan Islam.[3]
Lahirnya madrasah merupakan merupakan
kelanjutan dunia pesantren yang didalamnya terdapat unsur-unsur pokok dari
pesantren. Unsur-unsur tersebut adalah kyai (pengasuh), santri, pondok, masjid
dan mata pelajarannya tentang agama Islam. Sedangkan pada sistem madrasah tidak
harus ada pondok, masjid, pengajian kitab dan lain sebagainya. Unsur-unsur yang
di utamakan di madrasah yaitu pimpinan (kepala sekolah), guru, siswa, media
pembelajaran (perangkan keras dan perangkat lunak) serta mata pelajaran agama
islam. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik akan cepat berkembang
dengan percepatan kemajuan iptek dan berkembangnya zaman, sehingga madrasah
pada dasarnya sebagai wahana untuk mengembangkan kepekaan intelektual dan
informasi, serta memperbaharui pengetahuan, sikap dan keterampilan serta
bekelanjutan.[4]
Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas
agama Islam mempunyai peran amat strategis dalam kerangka peningkatan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas. Peran strategis ini, menurut Hafid Abbas
dikarenakan Indonesia sebagai negara keempat berpenduduk terbesar di dunia yang
memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia. Mereka ini memerlukan Iayanan
pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dan berciri khas IsIam.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 2 Tahun I989 hingga sekarang telah disempurnakan Iagi menjadi
undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, keduanya mengakui
eksistensi madrasah sebagai sub-sistem pendidikan nasional. Penerapan kedua
undang-undang ini sebagai respon dan upaya pemerintah untuk menjadikan madrasah
sebagai “center of excellence” atau pusat keunggulan dan memiliki nilai plus.
Unggulan atau nilai plus di sini, bahwa madrasah memiliki keunggulan
komperatif, yaitu penekanan yang signifikan pada pendidikan agama dan akhlak
(moralitas/imtaq) di satu sisi, dan penekanan yang signifikan pada pendidikan
umum (iptek) di sisi lain.[5]
B.
Sejarah Munculnya Madrasah Di
Indonesia
Munculnya madrasah di Indonesia merupakan
fenomena moderen yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Tidak ada kejelasan
hubungan madrasah abad ke 11-12 di timur tengah dengan munculnya madrasah di
Indonesia pada awal abad ke-20. Jika dikembalikan pada situasi awal abad ke-20
sejarah berkembangnya madrasah di Indonesia dianggap memiliki latar belakang
sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari
pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah masa moderen.
Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor,
yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah)
dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda
yang mendirikan serta mengembangkan sekolah umum tanpa memasukkan pelajaran
agama.[6]
Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan
yang tidak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk
semua warga. Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh
Abdullah Ahmad pada tahun 1909 merupakan madrasah pertama yang didirikan di
Indonesia, kemudian diikuti oleh beberapa madarasah lainnya: Diniyah School
Labay al-Yunusiy (1915) di Sumatera Barat, Madrasah Nahdlatul Ulama di Jawa
Tengah, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa
Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jam’iyat Khair di
Jakarta, yang kemudian bermunculan madrasah-madrasah di setiap daerah di
wilayah Indonesia.[7]
Madrasah berkembang di jawa mulai 1912, ada
model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin Ulya ( mulai 1919), ada
madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan belanda plus, seperti
muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah,
Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad (1913)
yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model
Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat
tentang sejarah madrasah di Indonesia.
Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahir
dan tumbuhnya madrasah di Indonesia, yakni faktor adanya respon terhadap
politik kolonial Belanda dan faktor munculnya pembaharuan pemikiran keagamaan,
yakni dengan munculnya gerakan pembaruan yang dimotori oleh tokoh intelektual
muslim diberbagai daerah dan organisasi sosial keagamaan. Berkat dukungan
politik pemerintah Indonesia dan dengan dikeluarkannya keputusan bersama
menteri serta UU Sistem Pendidikan Nasional, maka semakin memperkuat posisi
madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Pasang surut pertumbuhan dan perkembangan
madrasah seiring dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kerajaan
Islam, masa penjajahan dan masa kemerdekaan telah mengalami perubahan bentuk
baik dari segi kelembagaan, kurikulum, metode maupun struktur organisasinya. Di
era global ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, maka madrasah
harus mampu menjawab tantangan ini. Salah satu cara untuk dapat menjawab
tantangan tersebut adalah madrasah harus berani melakukakan perubahan-perubahan
serta mengadakan inovasi dan pengembangan terhadap kurikulumnya agar tetap
eksis dan bertahan.
C.
Ciri-ciri Madrasah
Adapun ciri-ciri madrasah diantaranya adalah:
1. Mata pelajarannya tentang
keagamaan, yang dijabarkan menjadi beberapa mata pelajaran, yaitu: Al-Qur’an
Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab,
sehingga sehingga mata pelajaran pendidikan Islam lebih banyak.
2. Suasana keagamaannya, yang berupa:
suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan
metodenya yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata
pelajaran yang memungkinkan dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan
berakhlak mulia.[8]
Di madrasah para siswinya memakai jilbab dan
siswanya memakai celana panjang, sedangakan pada sekolah non madrasah para
siswinya memakai baju rok dan siswanya memakai celana pendek untuk tingkat
SLTP, sedangkan pada tingkat SMU siswanya memakai celana panjang dan siswinya
memakai baju rok dan boleh juga memakai kerudung.
Di madrasah juga apabila siswa-siswinya
berjumpa dengan siswa-siswi lain, atau berjumpa dengan guru, kepala sekolah,
dan tenaga pendidikan lainnya maka mereka akan saling mengucapkan salam
(Assalamu’alaikum). Sedangkan disekolah non madrasah bisa bermacam-macam, ada
selamat pagi, selamat siang dan selamat sore, dan ada yang saling mengucapkan
salam.
D.
Jenis-jenis Madrasah
Adanya madrasah merupakan salah satu lembaga
formal yang di dirikan oleh masyarakat untuk belajar. adapun madrasah itu
terdiri dari berbagai jenis, yaitu:
1. Pendidikan dasar (MI)
Merupakan
jenjang yang melandasi jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah
Ibtidaiyah (MI) yang sederajat dengan Sekolah Dasar (SD). Madarasah
ibtidaiyyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran rendah serta
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar.
Adapun tujuan umum dari Madrasah
Ibtidaiyyah adalah agar murid:
a. Memiliki sikap dasar sebagai
seorang muslim yang bertakwa dan berakhlakul mulia.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk
melaksanakan tugas hidupnya dalam masyarakat dan berbakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Pendidikan menengah pertama berbentuk
Madrasah Tsanawiyah (MTS)
Madrasah Tsanawiyah ini sederajat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Adapun tujuan umum Madrasah Tsanawiyah adalah:
a. Menjadi seorang muslim yang
bertakwa dan berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya.
b. Memiliki pengetahuan, pengalaman
dan keterampilan yang lebih luas serta sikap yang di perlukan untuk melanjutkan
pelajaran ke Madrasah Aliyah atau sekolah lanjutan atas lainnya, atau untuk
dapat berbakti dalam masyarakat sambil mengembangkan diri guna mencapai
kebahagiaan dunia akhirat.
3. Madrasah aliyah
Merupakan lembaga pendidikan yang
memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah atas, pendidikan menengah
terdiri pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan, pendidikan menengah berbentuk
Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), Sekolah Menengah Atas
(SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan bentuk lain yang sederajat.
Adapun tujuan umum Madrasah Aliyah
adalah:
a.
Menjadi seorang muslim yang bertakwa,
berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang benar.
b.
Memilki ilmu pengetahuan agama dan umum yang
lebih luas dan mendalam serta pengalaman, keterampilan dan kemampuan yang di
perlukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. [9]
E.
Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial merupakan salah satu konsep
penting dalam sosiologi. Secara etimologis, ”mobilitas” berasal dari bahasa Latin
”mobilis” yang berarti mudah dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain.
Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain secara
sosial. Mobilitas sosial merupakan suatu bentuk dinamika dalam struktur sosial.
Gerak dan perubahan yang terjadi di dalam struktur sosial merupakan cermin
adanya mobilitas sosial (social mobility). Misalnya, seorang murid yang
melanjutkan kuliah setelah lulus, mengalami mobilitas sosial naik berdasarkan
level pendidikan formalnya. Seorang murid yang menjadi manajer setelah lulus
juga mengalami mobilitas sosial naik berdasarkan status sosialnya.[10]
Adapun tipe-tipe gerak sosial (mobilitas
sosial) ada dua macam, yaitu gerak sosial yang horizontal dan vertikal:
1. Gerak sosial horizontal merupakan
peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial
ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Contohnya seseorang yang beralih
kewarganegaraan beralih pekerjaan yang sederajat. Dengan adanya gerak sosial
horizontal, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun
suatu objek sosial.
2. Gerak sosial vertikal
merupakan perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial
kekedudukan lainnya, yang tidak sederajat. Terdapat dua jenis gerak sosial yang
vertikal, yaitu yang naik (sosial-climbing) dan yang turun (sosial-sinking).[11]
F.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Mobilitas Sosial
1. Faktor Struktural
Faktor struktural adalah jumlah
relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk
memperolehnya. Contohnya ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia
dibandingkan dengan jumlah pelamar kerja.
a.
Struktur Pekerjaan
Sebuah masyarakat yang kegiatan ekonominya berbasis industri dengan
teknologi canggih, tentunya yang berstatus tinggi akan lebih banyak
dibandingkan dengan yang berkedudukan rendah. Sehingga untuk itu yang berkedudukan
rendah akan terpacu untuk menaikkan kedudukan sosial ekonominya.
b.
Perbedaan Fertilitas
Setiap masyarakat memiliki tingkat fertilitas (kelahiran) yang
berbeda-beda. Tingkat fertilitas akan berhubungan erat dengan jumlah jenis
pekerjaan yang mempunyai kedudukan tinggi atau rendah. Hal ini tentu akan
berpengaruh terhadap proses mobilitas sosial yang akan berlangsung.
c.
Ekonomi Ganda
Setiap negara yang menerapkan sistem ekonomi ganda (tradisional dan
modern) sebagaimana terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika, tentunya akan
berdampak pada jumlah pekerjaan, baik yang berstatus tinggi maupun yang rendah.
Bagi masyarakat yang berada dalam tekanan sistem ekonomi ganda seperti ini,
mobilitasnya tergantung pada keberhasilan dalam melakukan pekerjaan di bidang
yang diminatinya karena dalam masyarakat seperti ini (modern) kenaikan status
sosial sangat dipengaruhi oleh faktor prestasi.
2. Faktor Individu
Faktor individu ini lebih
menekankan pada kualitas dari orang perorang, baik dilihat dari tingkat
pendidikan, penampilan maupun keterampilan pribadinya.
a. Perbedaan Kemampuan
Setiap inidvidu memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
b. Orientasi Sikap Terhadap Mobilitas
Setiap individu memiliki cara yang beragam dalam
mengupayakan meningkatkan prospek mobilias sosialnya.
d.
Faktor Kemujuran
Usaha adalah sebagai proses untuk meraih kesuksesan.
Tetapi kemujuran tetap berada pada posisi yang tidak bisa kita anggap sepele.
3. Faktor Status Sosial
Status sosial orang tua akan
terwarisi kepada anak-anaknya.
4. Faktor Keadaan Ekonomi
Masyarakat desa yang melakukan
urbanisasi karena akibat himpitan ekonomi di desa. Masyarakat ini kemudian bisa
dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami mobilitas.
5. Faktor Situasi Politik
Kondisi politik suatu negara dapat
menjadi penyebab terjadinya mobilitas sosial. Karena dengan kondisi politik
yang tidak menentu akan sangat berpengaruh terhadap struktur keamanan.
Sehingga, memunculkan sebuah keinginan masyarakat untuk pindah ke daerah yang
lebih aman.
6. Faktor Kependudukan (demografi)
Dengan pertambahan jumlah penduduk
yang pesat dapat mengakibatkan sempitnya lahan pemukiman dan mewabahnya
kemiskinan, sehingga menuntut masyarakat untuk melakukan transmigrasi.
7. Keinginan melihat daerah lain
Apabila keinginan melihat daerah
lain itu dikuasai oleh jiwa (mentalitas) mengembara, biasanya kuantitas
mobilitas agak terbatas pada orang-orang atau suku bangsa tertentu. Suku
minangkabau dan suku Batak misalnya, sering dikatakan memiliki jiwa petualang.
Ada semacam naluri yang hidup didalam jiwa pemuda Minang dan batak untuk
merantau ke daerah lain, atau melihat kehidupan di kota lain, sebelum mereka
menjalankan pekerjaannya ditempat yang tetap.[12]
G. Dampak
Mobilitas Sosial Terhadap Komposisi Penduduk
Mobilitas sosial mempunyai dampak positif dan dampak
negatif, yaitu:
1. Dampak Positif
Bisa memberikan motivasi bagi
masyarakat untuk maju dan berprestasi agar dapat memperoleh status yang lebih
tinggi.
2. Dampak Negatif
Setiap perubahan (mobilitas) pasti
akan memiliki dampak negatif, dan hal itu bisa berupa konflik. Dalam masyarakat
bayak ragam konflik yang mungkin terjadi akibat dari terjadinya mobilitas ini,
seperti terjadinya konflik antar kelas, antar generasi, antar kelompok dan lain
sebagainya. Sehingga akan berakibat pada menurunnya solidaritas baik kelompok
atau antar kelompok.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan
yang mampu menkombinasikan pendidikan yang bersifat keIslaman dan yang bersifat
umum. Madrasah sudah ada sejak abad ke-5 namun madrasah boleh dikatakan sebagai
fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang
kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20.
Seiring perkembangannya madrasah semakin maju
dan tingkat pendidikannya seperti sekolah modern, adapun tingkat-tingkatanya
yang sering di sebut adalah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsamawiyah, dan
Madrasah Aliyah, hal ini di bentuk agar mudahnya untuk mendidik para
pelajarnya.
Adapun mobilitas sosial adalah perpindahan
posisi seseorang atau kelompok orang dari strata sosial yang satu ke
strata sosial yang lain.
Tipe-tipe mobilitas sosial yang prinsipil ada
dua, yaitu:
1. Horizontal, yaitu apabila individu
atau objek sosial lainnya berpindah dari satu kelompok sosial ke kelompok
sosial lainnya yang sederajat.
2. Vertikal, yaitu apabila individu
atau objek sosial lainnya berpindah dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan
sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat dua
jenis gerak vertikal, yaitu yang naik (social climbing) dan yang turun (social
sinking)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Junbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M.Arifin,
Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Dirjen Kelembagaan Agama lslam Direktorat Madrasah dan PAI di
Sekolah Umum, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan, Dinamika, dan Perkembangannya
di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama Rl, 2004
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung:
Penerbit Nuansa, 2010.
________, Wacana Pengembanga Pendidikan Islam, Surabaya:
Pustaka Belajar, 2004
Nasir, M. Ridlwan, Format Pendidikan Ideal (Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan), Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Nata, Abudin, Menejemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam Di Indonesia), Jakarta: Kencaana Prenada Media Group,
2010.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Syatra, Abdul Khafi, Buku Pintar
Sosiologi, Yogyakarta: Garailmu, 2010.
Web:
[1] Ali al-Junbulati, Perbandingan
Pendidikan Islam, terj. M.Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm.30.
[2]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan
Pendidikan Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010), hlm.19.
[3] M. Ridlwan Nasir, Format
Pendidikan Ideal (Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan), (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2010), hlm.90-91.
[4] M. Ridlwan Nasir, Format Pendidikan Ideal (Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan)..., hlm.90-91.
[5] Dirjen Kelembagaan Agama lslam
Direktorat Madrasah dan PAI di Sekolah Umum, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan,
Dinamika, dan Perkembangannya di Indonesia, ( Jakarta: Departemen Agama Rl,
2004) hlm. I65.
[6] Maksum, Madrasah; Sejarah dan
Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.82.
[7] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya...,
hlm.24.
[8] Muhaimin, Wacana Pengembanga Pendidikan Islam,
(Surabaya: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 178-179.
[9] Abudin Nata, Menejemen
Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia), (Jakarta:
Kencaana Prenada Media Group, 2010), hlm.299.
[10] http://sosiologis.com/mobilitas-sosial diakses 8 Desember 2019
[11]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 220.
[12] Abdul Khafi Syatra, Buku Pintar
Sosiologi, (Yogyakarta: Garailmu, 2010), hlm.183-187.
0 comments:
Posting Komentar