Social Icons

Kamis, 07 Mei 2015

FILSAFAT ISLAM DI DUNIA ISLAM WILAYAH TIMUR DAN BARAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran, lebihmengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti al-Ghazali, Ibnu Thufail, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk mengkaji dan mengkomentari sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya monumental dan susah dicari tandingannya.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
  1.       Bagaimana filsafat Islam di dunia Islam wilayah timur dan barat ?
  2.     Bagaimana Proses masuknya filsafat ke dunia Islam ?
  3.    Siapa sajakah para filosof Islam di dunia Islam wilayah timur dan barat  ?


C.       Tujuan Pembahasan

    1.   Untuk mengetahui filsafat Islam di dunia Islam wilayah timur dan barat.
    2.   Untuk mengetahui Proses masuknya filsafat ke dunia Islam.
    3    Untuk mengetahui para filosof Islam di dunia Islam wilayah timur dan barat.




BAB II
PEMBAHASAN

FILSAFAT ISLAM DI DUNIA ISLAM WILAYAH TIMUR DAN BARAT

A.    Filsafat Islam

 Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad. Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat 5 abad perjalanan yang menakjubkan dalam kegiatan pemikiran filsafat, yaitu antara abad ke 7 hingga abad ke 12. Dalam kurun waktu lima abad itu para ahli pikir Islam merenungkan kedudukan manusia didalam hubungannya dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirnya.mereka berpikir secara sistematis dan analitis serta kritis sehingga lahirlah para filsuf Islam yang mempunyai kemampuan tinggi karena kebijaksanaannya.[1]

B.     Proses masuknya filsafat ke dunia Islam
Sejarah filsafat bermula dari pesisir samudra Mediterania bagian timur pada abad ke 6 SM. Dari situlah filsafat bergerak menyeberangi teluk Aegean menuju tanah Yunani, dan untuk ribuan tahun lamanya menancapkan akar-akarnya yang kuat dan menjadi ideologi masyarakat Yunani. Ibarat tanaman yang menemukan lahan subur, di negeri itulah filsafat benar-benar berkembang dengan pesat, sehingga melahirkan filosof-filosof besar pertama seperti Thales, Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Ketika Iskandariyah didirikan oleh Iskandar Agung pada tahun 332SM, filsafat mulai merambah dunia timur. Di Iskandariyah ini, filsafat menjadi benar-benar mendunia, karena semua karya filosof Yunani diperkenalkan dan filsafat dijadikan go international. Di Iskandariyah ini tradisi filsafat Yunani sudah tidak murni lagi dalam satu aliran, melainkan telah terpecah menjadi beberapa aliran seperti Platonisme, Aristotelianisme, Pythagorianisme, dan Stoisme, bahkan telah tercampur dengan budaya-budaya lokal seperti mistis Mesir, Phoenisia, Persia, Yahudi. Dan Kristen. Akulturasi filsafat asli Yunani dengan budaya-budaya lain ini dinamakan proses hellenistik, sehingga melahirkan filsafat Hellenisme, yang bagaimanapun juga filsafat Yunani tetap mendominasi akulturasi budaya dalam proses hellenistik. Kemudian filsafat Hellenistik inilah yang pada akhirnya malah lebih mempengaruhi dunia Islam, khususnya madzhab Neoplatonisme.
Lebih lanjut, perkembangan filsafat  memasuki kawasan Timur juga melalui Jundishapur. Pada waktu itu Kaisar Bizantium, Justinianus menutup sekolah-sekolah tinggi filsafat di Athena karena sekolah-sekolah itu dianggap bersimpati kepada kaum pagan. Justinianus menganggap paganisme sebagai ancaman bagi eksistensi Kristen. Tujuh guru filsafat terkemuka, dipimpin oleh Damascius dan Simplicius, lari menyeberangi perbatasan Bizantium menuju Persia, dan hidup di Jundishapur dengan terus mengkaji filsafat Hellenik dan kedokteran di sekolah Jundishapur yang didirikan bersama Chosroes I. Namun transformasi filsafat Yunani di Jundishapur ini tidak segempita seperti di Iskandariyah.
Sementara itu, pada saat yang sama agama Kristen setelah mengalahkan Yunani dan Romawi, tersebar pula di daerah seperti Mesir, Syam dan Jazirah Arab. Pada akhirnya orang-orang Kristen ini mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani, dan mereka banyak yang tertarik untuk mempelajarinya, bahkan sebagian mereka menerjemahkan filsafat dan logika Yunani ke dalam bahasa Suryani.
Pada akhirnya, penaklukan Iskandariyah, termasuk Mesir, Suriah, dan Irak yang notabene sebagai pusat-pusat Hellenisme, oleh tentara Islam, membawa bangsa Arab-Islam untuk bersentuhan dengan peradaban-peradaban Yunani dan peradaban-peradaban Timur Tengah lain seperti mistis Mesir, Phoenisia, Persia, Yahudi, dan Kristen. Persentuhan kaum muslimin dengan tradisi Hellenistik ini pada akhirnya mempengaruhi cara dan gaya berfikir kaum muslimin. [2]

C.    Sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 347 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles. Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd. Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Bajjah dan Ibnu Tufail. Ibnu bajjah dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aristoteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropa pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut.
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropa Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.


D.    Filsafat Islam di dunia Islam wilayah timur
Diantara para filosof Islam yang lahir di wilayah timur adalah Al-Kindi, Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Dan di makalah ini hanya akan dijelaskan dua filosof saja yang merupakan para filosof di dunia Islam wilayah timur.
a.       Al-Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu ‘Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185H (801M) dari keluarga kaya dan terhormat.
Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun darimana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran darimana saja sumbernya.
Telah dipaparkan bahwa Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidaklah bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhaiNya.
Dalam tulisannya Kammiyat Kutub Aristoteles, Al-Kindi mengemukakan beberapa perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut.
Ø  Filsafat termasuk ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berpikir, belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu, agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, berpikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
Ø  Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agama (Alqur’an) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan,  seperti firman Allah yang disampaikan Rasulullah saw. ketika ia ditanya orang tentang siapa yang menghidupkan tulang belulang yang telah rapuh. 
Ø  Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode keimanan.[3]



 b.      Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450H/1058 M di Ghazal, Thus, provinsi Khurasan, Republik Islam Iran.dengan demikian ia adalah keturunan Persia asli.
Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar  biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksudkan para filosof disini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosof dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat. Dalam buku ini ia mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-doktrin mereka.
Dalam buku Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga golongan.
1.      Filosof Materialis (Dahriyyun)
Merteka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
2.      Filosof Naturalis (Thabi’iyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini.
3.      Filosof ketuhanan (Ilahiyah)
Mereka adalah filosof Yunani, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles.[4]


E.     Filsafat Islam di dunia Islam wilayah barat
Diantara para filosof Islam yang lahir di barat adalah Ibnu Rushd, Ibnu Bajjah dan Ibnu Tufail.
a.       Ibnu Rusyd
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalusia pada tahun 510H/1126M, sekitar 15 tahun wafatnya Al-Ghazali.
Salah satu hasil pemikiran filsuf muslim di barat adalah pemikiran dalam bidang hukum. Filsuf muslim yang paling berperan dan paling dikenal dalam hal ini adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Ibnu Rusyd pernah mengarang sebuah kitab yang bernama al-Kulliyat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke 13 M.[5]
b.      Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalusia. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Bajjah. Ia dilahirkan di Saragossa (Spanyol) pada akhir abad ke 5H/abad ke 11M.
Latar belakang pemikiran filsafat Ibnu Bajjah adalah bahwa ia seorang filosof, penyair, dokter, dan wazir pada masa pemerintahan murabithun di Saragossa. Salah satu karya tulis Ibnu Bajjah yang paling populeradalah kitab Tadbir al-Mutawahhid, kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri).  
c.       Ibnu Thufail.
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia  dilahirkan di Cadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Suatu karya penting dari Ibnu Thufail adalah Hayy bin Yaqzan (“kehidupan anak kesadaran”), buku ini telah berabad-abad menarik perhatian peminat filsafat.[6]








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan sudah ditemukan.

Diantara para filosof Islam yang lahir di wilayah timur adalah Al-Kindi, Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Dan diantara para filosof Islam yang lahir di barat adalah Ibnu Rushd, Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail.


















DAFTAR PUSTAKA
Achmadi Asmoro. 2010. Filsafat Umum. Semarang:Kharisma Putra Expertoha Offset.
Bakhtiar Amsal. 2014. Filsafat Ilmu. Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Zainuddin Muhardi. 2004. Jurnal Studi Islam. Yogyakarta:Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an. 
Zar Sirajuddin. 2004. Fisafat Islam. Jakarta:CV.Pustaka Setia.




[1] Asmoro Achmadi.Filsafat Umum.(Semarang, Kharisma Putra Expertoha Offset,2010), hal.97
[2] Muhardi Zainuddin.Jurnal Studi Islam.(Yogyakarta,Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an,2004), hal.97
[3] Sirajuddin Zar.Filsafat Islam.(Jakarta, RajaGrafindo Persada,2004), hal.37
[4] Ibid, hal.155
[5] Amsal Bakhtiar.Filsafat Ilmu.(Jakarta,RajaGrafindo Persada,2014), hal.42
[6] Asmoro Achmadi.Filsafat Umum.(Semarang, Kharisma Putra Expertoha Offset,2010), hal.106
 

Sample Text

 
Blogger Templates