Social Icons

Minggu, 13 Desember 2015

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di Negara-Negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan  sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.
Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia, bahwa tasawuf  adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. Secara historis, tasawuf  telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga perkembangannya sekarang.

B.       Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana tasawuf dan Islamisasi di Indonesia?
2. Bagaimana reformasi tasawuf di Indonesia ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?

C.       Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui tasawuf dan Islamisasi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui reformasi tasawuf di Indonesia.
3. Untuk mengetahui para tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia
            Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi. Tidaklah berlebihan kalau di katakan bahwa tersebarnya islam di indonesia sebagian besar adalah karena jasa kaum sufi.[1]
            Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh Abdullah Arif  yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke -12 M. Ia adalah seorang pendatang ke Nusantara bersama banyak muballigh lainnya yang diantaranya bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawash Abdullah menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara, para sufilah bukan lainnya yang paling banyak jasanya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk islam bersedia menukar kepercayaan dari animisme, dinanisme, budhaisme, dan hinduisme karena tertarik kepada ajaran tasawuf.[2]
            Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat inipun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan terekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.
            Sebagaimana pendapat Hawash diatas, A.H.Johns, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara yang melakukan penyiaran Islam di nusantara. Para sufi ini berhasil mengislamkan penduduk nusantara setidaknya sejak abad ke 13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemajuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan aktraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam.
            Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar di nusantara adalah yang bercorak falsafi yakni tasawuf yang sangat filosofi dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abi yazid al-bustami) hulul (al-hallaj), dan wahdah al-wujud (ibn arabi) dominasi tasawuf falsafi terlihat jelas pada khasus syekh siti jenar yang dihukum mati oleh wali songo karena dipandang menganut paham tasawuf yang sesat.[3]
            Proses islamisasi di Indonesia strurktural telah di bentuk oleh tiga komponen yang saling melengkapi yaitu sebagai berikut.
1. Kesultanan dengan maritimnya yang berada di sepanjang pantai utara jawa berusaha menaklukan negeri-negeri pedalaman.
2. Kelompok ulama Islam asing mengisi pos birokrasi dan memimpin upacara keagamaan.
3. Para sufi tertarik untuk pindah dari daerah pantai menuju pedalaman jawa untuk menyampaikan dakwahnya.
           Dengan beberapa pertimbangan para juru dakwah cenderung melakukan sinkretisme. Menurut prof. Dr. azyumardi azra, Islam dapat dengan cepat di terima oleh masyarakat Indonesia salah satu nya karena adanya kesamaan bentuk antara Islam tasawuf dan sinkretisme penduduk setempat. Menurut teori ini Islam tasawuf nyaris secara alami di terima. Terlebih lagi ada teori yang menyatakan bahwa Islam mampu hidup berdampingan secara damai dengan kepercayaan leluhur. Teori ini dalam batas tertentu mungkin dapat di terima. Kesamaan itu menyebabkan perpindahan agama Islam secara besar-besaran. Akan tetapi, dalam tahap perkembangan lebih lanjut terjadi proses penghilangan kesamaan itu untuk menuju islam yang lebih murni.
           Ajaran islam yang di ajarkan kepada penduduk setempat di warnai dengan amalan sufi. Para sejarawan mengemukakan bahwa ini yang membuat mereka tertarik. Dengan kata lain perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses Islamisasi di Indonesia dapat berlangsung dengan mudah.
            Islam di Indonesia sampai sekarang masih di liputi dengan perilaku sufistik dan kegemaran terhadap hal-hal yang keramat. Tarekat yang munculpun beragam, tidak hanya bercorak Islam tetapi juga bercorak sintretisme. Sementara itu melalui sejarah, kita tahu bahwa ada sejumlah kaum reformis yang berusaha membersikan Islam dari unsur sufistik dan magis. Beberapa dari mereka ada yang berhasil. Sehubungan dengan itu kita melihat bahwa pada awal perkembangan Islam kecenderungan mistik lebih kuat. Namun, setelah itu muncul pendekatan fiqh yang menggatikan ke cendrungan mistik.[4]

B.     Reformasi Tasawuf di Indonesia
            Pada permulaan tahun 1950-an, Hamka menulis buku tasawuf: perkembangan dan pemurniannya dan tasawuf modern. Ia berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang berakar pada prinsip tauhid.
            Sejalan dengan Hamka, Nahdatul Ulama(NU) adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan dari para syaikh terdahulu. NU meletakan dasar-dasar tasawuf bagi jamaahnya dengan sesuai dengan khitab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
            NU bertasawuf sejalan dengan prinsipnya bahwa kehidupan beragama tidak saja di tandai oleh legalisai-rasional. Bagi NU, tasawuf merupakan hal yang penting karena sebagai doktri kesalehan yang menyejukkan jiwa dari kekeringan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara keseimbangan antara pandangan fiqh dan penghayatan iman. Tasawuf bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, karena manusia memiliki posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan alam semesta.
            Manusia diperkenankan menghendaki apa yang dimauinya, walaupun kehendak itu harus tunduk pada kekuasaan Allah. Kebebasan untuk berkehendak membawa kesadaran kepada manusia untuk menjunjung tinggi arti dan nilai kehidupan, karena dengan itulah manusia mendapatkan kedudukan yang mulia. Kewajiban menjunjung tinggi kehidupan, mengharuskan manusia memiliki arah kehidupan yang benar, yang dapat memberikan manfaat. Arah kehidupan itu harus seimbang antara kebutuhan  individu dan masyarat. Allah menentukan bahwa manusia harus mampu hidup dengan kemampuannya untuk mengelola sumber daya yang telah di sediakan. Oleh karena itu menurut NU, tasawuf bukan berarti mengabaikan duniawi, melainkan harus terlibat langsung dalam aspek kehidupan.
            Tasawuf yang berkembang di Indonesia di dominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalaupun ada penganut aliran falsafi pengaruhnya tidak begitu luas, bahkan aliran ini mendapat perlawanan dari penikut Sunni. Oleh karena itu Hamka menulis bahwa tasawuf di indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.

C.    Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia
            Beberapa tokoh tasawuf memainkan peranan penting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Berikut ini penjelasannya.
1.      Syaik Hamzah Al-Fansuri
a.       Riwayat hidup Hamzah Al-Fansuri
           Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik ke Islaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsudin Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamanya, dan hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusatraan melayu dan Indonesia.[5]
           Para pengkaji seperti Doorenbos [1933], Al-Attas[1970], Drewes dan Brekel [1986] tak dapat menamfik bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku, bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa indonesia. Kecemerlangan gaya penulisannya diakui sulit di tandingi oleh ulama pada zaman dulu dan zaman sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembaruan ke ilmuan dan filsafat, serta pembaru spritual pada zamannya.[6]
           Hamzah Al-Fansuri lahir di sumatera utara, akhir abad XVI awal abad XVII. Tokoh ini menganut paham wahdah al-wujud yang dicetuskan Ibnu Arabi. Ia juga dikenal sebagai penyair pertama yang memperkenalkan syair ke dalam sastra melayu.
           Ia berasal dari keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun temurun berdiam di Fansur (Barus), kota pantai di sumatra utara. Ia diperkirakan telah menjadi penyair pada masa kesultanan aceh yang diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid Al-Mukammal (1589-1604). Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah, dan Madinah.[7]
           Karya tulis Al-Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar peranan bahasa melayu sebagai bahasa keempat di dunia islam setelah bahasa arab, persia, dan turki. Karya-karya nya tersebut tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitabnya, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera barat, kaimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makasar, dan Ternate. Syair-syair nya, antara lain burung pingai, syair burung pinuk, syair perahu, syair dagang.
           Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang mengatkan bahwa ia pernah sampai ke seluruh menanjung dan mengembangkan tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan lain-lain.
b.      Ajaran tasawuf Hamzah Al-Fansuri
           Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi               dalam paham wahdat wujud nya, ia mengajarkan bahwa tuhan lebih dekat dari leher manusia itu sendiri. Tuhan juga tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 115.
¬!ur ä-ÃŒÃ´±pRùQ$# Ãœ>ÃŒÃ¸Ã³pRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÃŽ) ©!$# ììźur Ã’OŠÃŽ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”

          Para sufi menafsirkan bahwa “wajah Allah” sebagai sifat-sifat tuhan seperti pengasih, penyayang, jalal dan jamal. Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama hindu yang membayangkan tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti ubun-ubun yang di pandang sebagai jiwa dan di jadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.



Diantara ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fansuri adalah:
1)      Allah
           Allah adalah dzat yang mutlak dan qadim sebab dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat dari leher manusia sendiri, dan allah juga tidak bertempat sekalipun dia sering dikatakan bahwa ada dimana-mana.
2)      Hakikat wujud dan penciptaan
           Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatanya banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit [mazh-har, kenyataan lahir], Dan ada juga yang berupa isi [kenyataan bati]. Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqiyang disebut Al-Haqq Ta’ala.
3)      Manusia
           Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna.[8]
4)      Kelepasan
           Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil [manusia sempurna],tetapi karna iya lalai,pandangan nya kabur dan tidak sadar bahwa seluru alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[9]

2.      Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
a.       Riwayat hidup Nuruddin Ar-raniri
          Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif Al-Raniri Al-Quraisyi Al-Syafi’i. Nuruddin Al Raniri adalah sarjana India keturunan Arab, beliau dilahirkan di daerah Ranir yang tak jauh dari Gujarat.[10] Tahun kelahirannya tidak di ketahui dengan pasti tetapi  kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Ibunya keturunan melayu, sementara ayah nya berasal dari keluarga imigran hadramaut.[11]
           Darerah asal Ar-Raniri sangat ramai di kunjungi para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Tujuan mereka untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari sumber perekonomian yang baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebar luaskan ilmu-ilmu agama sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
           Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikan. Pendidikan pertamanya di Ranir dan kemudian melanjutkannya ke wilayah handramaut. Sewaktu masih di negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang paling banyak mempengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Iman bin Abdullah bin Syaiban, seorang guru tarekat Rifa’iyah keturanan Hadramaut Gujarat India. Dari syaikh Ba Syaiban inilah Ar-Raniri di baiat sebagai khalifah untuk menyebar luaskan tarekat Rifa’iyah ditanah melayu.[12]
  Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan di timur tengah dan wilayah anak benua india, Ar-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. Ia tiba  di Aceh pada tahun 1637 M. Ia memilih Aceh karena wilayah itu berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik, dan agama islam di kawasan Asia Tenggara yang menggantikan posisi Malaka setelah dikusai Portugis.
           Ar-Raniri menjadi mufti kesultanan Aceh pada masa Sultan IskandarTsani, kedekatan Ar-Raniri dengan Sultan membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan di dukung oleh Sultan, ia mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah. Untuk membasmi paham ini, kitab-kitab nya di bakar di di depan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh.
           Di Aceh Ar-Raniri di kenal sebagai seorang ulama yang memiliki cakrawala keilmuan yang sangat luas, ia memiliki pengaruh besar dalam pengembangan islam di wilayah Nusantara, dan ia juga merupakan ulama penulis yang produktif.
           Diantara karya-karya yang pernah di tulis oleh Ar-Raniri dalam bahasa melayu di antaranya adalah:
1)   Ash-Shirat Al-Mustaqim.
2)    Butan Ash- Shalatin.
3)   Asrar Al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa Ar-Rahman.
4)   Akhbar Al- Akhirah fi Ahwal Al-Qiyamah
5)   Rafiq Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Syufiyyah.
6)   Aqa’id Ash-Shufiyyah Al-Muwahhidin.
7)   Durrah Al-Fara’idh bi Syarh Al-Aqa’id.
8)   Syifa’ Al-Qulub.

b.    Ajaran tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
 Pemikiran Ar-Raniri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1)   Tuhan
        Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berpendapat bahwa ungkapan “ wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah yang ada hanyalah wujud Allah yang esa.
2)   Alam
           Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajali. Ia menolak teori al-faidah Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan.
3)   Manusia
           Menurut Ar-Raniri, manusia merupakan mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-nya.
4)   Wujudiyah
           Menurut Ar-Raniri inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat al-wujud, maksudnya jika benar tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat di katakan bahwa manusia adalah tuhan dan tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh mahluk itu adalah tuhan.
5)   Hubungan syariat dan hakikat
           Ar-Raniri mengajukan beberapa pendapat para sufi, diantaranya adalah syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.

3.      Abd Somad Al-Falimbani
a.       Riwayat hidup Al-Falimbani
           Abd Somad Al-Falimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun setelah tahun 1700 M dan meninggal kira-kira tidak lama setelah tahun 1203 H/ 1788 M. Ia adalah putra Abd Jalil bin Syekh Abd Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madhani dari Yaman, seorang ulama sufi di San’a’, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di kedah. Ketika ia berada di palembang, Abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita bernama Radin Ranti. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash-Somad Al-Falimbani.[13]
           Al-Falimbani menerima pelajaran agama pertama kali di negeri kelahiranya, kemudian melanjutkan ke Masjid Al-Haram, Mekah Al-Mukarramah. Karya ilmiah pertama Al-Falimbani berjudul Zuhrah AlMurid fi Bayan Kalimah At-Tauhid yang di tulis pada tahun 1764. Tulisan itu berisi tentang kumpulan pelajaran yang telah diterima dari gurunya, yaitu Syaikh Ahmad bin Abdul Mun’in Al-Damanhuri yang berasal dari mesir. Al-falimbani sejak kecil sudah menyenangi ilmu tasawuf. Karna pengaruh lingkungan di tempat tinggal nya yang sering terjadi perdebatan antara ulama setempat dan ulama pendatang. Pengaruh pergulatan pemikiran yang memanas telah mendorong pemikiran tasawuf menjadi berkembang pesat.
           Al-Falimbani menghabiskan hampir seluruh umurnya di mekkah dan madina untuk menuntut ilmu dan menulis gurunya antara lain, Syeikh Muhammad As-Samman Al-Madani, pendiri tarekat Sammaniyya-Khalwatiyyah. Abd Somad memproleh ijazah dari gurunya untuk pertama kalinya memperkenalkan dan mengajarkan tarekat Sammaniyyah-Khalwatiyyah di palembang. Iajuga belajar kepada Syeikh Abdur Rahman bin Abdil Aziz Al-Mahgribi ang mengajarkan beberapa kitab tasawuf dan filsafat.
           Karya-karya Al-Falinbani antara lain:
1.      Zuhra Al-Murid fi Bayan Kalimah At-Tauhid
2.      Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mukminin fi Fadha’il Al-Jihad fi Sabilillah
3.      Tuhfa Ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman Al-mu’minin wa Ma Yufsiduh fi Riddah Al-Murtadin
4.      Al-urwah Al-Wutsqa wa Silsilah Uli At-tuqa
5.      Ratib Abdush Shamad
6.      Zat Al-Muttaqin fi Tauhid Rabb Al-Alamin
7.      Hidayah Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin
8.      As-Sair As-Salikin ila Rabb Al-‘Alamin

b.      Ajaran tasawuf Al-Falimbani
          Ajaran tasawuf Al-Falimbani tertuang dalam karya-karyanya dalam bidang tasawuf. Sebagian besar pemikiranya banyak dipengaruhi oleh karya-karya Al-Ghazali.
           Ia menganut paham Ibnu Arabi yang memandang manusia sebagai manifestasi allah yang paling sempurna. Namun hal itu ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak terjadi penyimpangan.
           Seperti banyak tokoh sufi lainya, Al-Falimbani percaya bahwa tuhan hanya dapat didekati melalui keyakinan yang benar.  Al-Falimbani disebut sebagai orang pertama yang mengenalkan tarekat samaniyyah di indonesia dan mengikuti tarekat Khalwatiyyah melalui Syaikh Muhammad Abdul Karim Saman Al-Madani.
            Ia memiliki pengaruh penting dalam penyebaran islam dengan pendekatan tasawuf. Ia juga memiliki banyak murid yang tersebar di seleruh penjuru negeri. Pendekatan tasawuf yang ia yang kembangkan lebih spesifik pada pengamalan Ratib shamad di masyarakat. Ratibnya ini mengandung pendekatan kepada tuhan dan dalam rangka memerangi kekufuran dan ketidak adilan.





4.      Syekh Yusuf Al-Makassari
a.       Riwayat hidup Syekh Al-Makassari
           Syekh Yusuf Al-Makassari adalah seorang tokoh sufi yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H. Atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M.[14] Nama aslinya adalah Muhammad Yusuf, ia terkenal dengan gelar Asy-Syaikh Al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Bantani. Sementara itu di daerah kelahiranya, ia lebih dikenal dengan gelar Tuanta Salamaka yang artinya tuan kita yang selamat dan mendapat berkah. Syaikh Yusuf dibesarkan di istana karena diangkat oleh raja sebagai anak angkatnya.[15]
           Sejak kecil Syekh Yusuf sangat suka mempelajari ilmu tentang keislaman, dalam waktu yang sangat singkat ia dapat menghafal dan mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Ia juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, maani, badi, balaghah, dan mantiqh. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu ushuluddin dan ilmu tasawuf.
           Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman ia menerima tarekat dari Syekhnya yang terkenal bernama Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang di pelajarinya cukup banyak. Beberapa terekat yang telah di pelajarinya sebagai berikut:
1.      Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniridi Aceh.
2.      Tarekat Nuqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah.
3.      Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubeid di Yaman.
4.      Tarekat Syatariyah diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah.
5.      Tarekat Khalwatiyah  diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khaltawi Al-Quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibn ‘rabi.

b.      Ajaran tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
           Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistik bertolak dari asumsi dasar, bahwa ajaran islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. [16]
           Transendensi tuhan, Meskipun berpegang teguh pada transendensi tuhan, ia meyakini bahwa tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu.
      Insan kamil dan proses penyucian jiwa, Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan tuhan akan tetap tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya kehidupan dunia bukanlah untuk di tinggalkan dan hawa nafsu harus di matikan. Sebaliknya, hidup harus diarahkan untuk menuju tuhan, gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tata tertib hidup dan disiplin diri atas dasar ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Cara-cara ingin mendekatkan diri kepada tuhan:
1)      Tingkatan akhyar (orang-orang baik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca al-qur’an, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan allah.
2)      Mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melawan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan.
3)      Ahl adz-dzikir, yaitu orang-orang yang mencintai tuhan, baik secara lahir maupun batin, mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek tersebut.

5.      Hamka
a.       Riwayat hidup Hamka
           Hamka [Haji Abdul Malik Karim Amrullah] ia dilahirkan di tanah Sirah,  Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 H. Betepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayah nya bernama Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arief.[17]
           Semasa kecil, Hamka lebih dekat dengan kakek an neneknya, Hal itu dikarenakan ayahnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Ketika berumur 4-12 tahun, ia termasuk anak yang nakal. Walaupun demikian ia memiliki keberanian dan kemauan yang tinggi dalam menuntut ilmu.
           Hamka mengawali pendidikanya dengan belajar membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Pada usia tujuh tahun, Hamka di masukan ayah nya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainudin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah, di pasar usang Padang Panjang, Hamka lalu dimasukan ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa, sore hari pergi kesekolah diniyah, dan malam hari, Hamka berada di surau bersama teman-temannya. Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, ia hanya berkesempatan masuk sekolah desa selama tiga tahun dan tida tahun pula pada sekolah agama dipadang dan parabek , di bukit tinggi.
           Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya pergi ke Jawa tatapi ia juga ke Mekkah, Sulawesi selatan, dan Sumatera Utara. Di Sulawesi Selatan ia tinggal disana kurang lebih empat tahun dan pada akhirnya Hamka menetap di Medan tahun 1936 sebagai pemimpin redaksi mingguan pedoman masyarakat.[18]
           Ketika tinggal di Jawa, Hamka aktif dalam berbagai organisasi. Setelah menikah ia juga aktif sebagai pengurus cabang Muhammadiyah Padang Panjang sibuk menghadapi kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau. Setahun kemudian (1930) ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta pada tahun itu juga. Stahun berikutnya ia diutus ke Makasar oleh pimpinan pusat Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjadi Mubaligh. Pada tahun 1933, ia menghadiri kongres Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap majelis Konsul Muhammandiyah Sumatera Tengah.
Adapun karya-karya yang pernah di tulis oleh Hamka diantaranya adalah:
1.      Tasawuf Modern.
2.      Falsafah Hidup.
3.      Lembaga Hidup.
4.      Lembaga Budi.
5.      Di bawah Lindungan Ka’bah.
6.      Renungan Tasawuf.
7.      Pelajaran Agama Islam.
8.      Pandangan Hidup Muslim.
9.      Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
10.  Kedudukan Perempuan Dalam Islam.
11.  Tafsur Al-Azhar.
           Prof. Dr. Hamka meninggal pada tahun 1984 di Jakarta, dengan meninggalkan lembaga pendidikan yang di kelolanya, yaitu perguruan Al-Azhar.[19]
b.      Hamka dan Masyarakat Modern Indonesia
           Setelah meninggalkan panggung politik, Hamka kembali ke kehidupan nya semula, menjadi Mubaligh, pengarang, dan pemimpin umum majalah Panji Masyarakat. Dalam hidupnya ia banyak menorehkan prestasi. Ia telah menulis buku sebanyak 118 judul. Hal itu merupakan prestasi yang luar biasa . buku-buku karya Hamka terdiri novel,agama, filsafat, tasawuf, kebudayaan, sejarah, politik, dan tafsir qur’an.
           Karena kiprah dan jasa Hamka yang besar, kaum intelektual universitas Al-Azhar Mesir tertarik untuk memberikan gelat Doctor Honoris Causa pada bidang keislaman pada tahun 1958. Pidato pengukuhanya berjudul pengaruh pikiran Muhammad Abduh di Indonesia. Gelar yang sama diberikan oleh Universitas kebagsaan Malaysia dalam bidang kesusastraan, Hamka di beri gelar profesor karena aktivitasnya dalam bidang akademik.
c.       Pemikiran Tasawuf Hamka
           Pemikiran-pemikiran Hamka lebih banyak tercurah pada soal-soal iman, akhlak, dan aspek-aspek sosial. Ada dua buku yang dapat dibaca untuk menelusuri pemikiran-pemikiran Hamka. Pertama, tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka sendiri. Kedua Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka yang ditulis oleh Muhammad Damami. Berikut ini adalah pemikiran-pemikiran Hamka tentang tasawuf berdasarkan kedua buku diatas.
          Pertama, Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi pekerti dan membersihkan batin. Artinya, alat untuk membentengi seseorang dari kemungkinan untuk berbuat keburukan.
           Kedua, Fungsi Tasawuf Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang benar itu juga dilaksanakan lewat pendidikan moral keagamaan yag efektif.
           Ketiga, Tasawuf Modern Tasawuf Hamka [disebut “tasawuf modern”] Berdasarkan pada prinsip “tauhid”  bukan pencarian pengalaman.
           Keempat, Qana’ah Menurut Hamka, qana’ah itu menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan kita, sabar menerima ketentuan ilahi, dan bersyukur jika di beri nikmat.
           Kelima, Tawakal adalah menyerahkan segala keputusan kepada allah, berikhtiar, dan berusaha kepada tuhan.

6.      Nawawi Al-Batani
a.       Riwayat hidup Nawawi Al-Batani
           Abu Abd Al-Mu’thi Muhammad bin Umar bin An-Nawawi Al-Jawi, dilahirkan pada tahun 1230 H/ 1813 M. Di desa Tanara, sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang propinsi Jawa Barat. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H.Umar, seorang penghulu dari dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten.[20]
           Al-Batani merupakan putra ke dua dari KH. Umar, ulama yang memimpin masjid dan pendidikan islam di Tanara. KH, Umar adalah keturunan dari Maulana Hasanuddin ( Sultan Hasanuddin ), sultan Banten yang pertama. Al-Batani merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).[21]
           Sejak tahun 1830-1860, An-Nawawi belajar di bawah bimbingan para ulama terkenalseperti, Syekh Khatib Sambas, Syekh Abd Al Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Abd Al Hamid Baghistani, dan Syekh Ahmad Dimyati.
           Al-Batani wafat pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah (1879 M) di tempat kediamanya yang terakhir di kampung Syi’ib Ali, Mekah Al-Mukarramah.
b.      Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Batani
           Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Batani meliputi ilmu tafsir, hadis, sejarah, fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan bahasa. Mengenai jumlah kitab yang dihasilkan Al-Batani, para pengamat berpendapat ada yang mengatakan 115 kitab dan ada yang mengatakan 99 kitab. Karya-karyanya telah tercetak dan menyebar ke berbagai daerah. Adapun sampai sekarang yang telah terdata dan tercetak sebanyak 41 kkitab, sebagai berikut:
1.      Ats-Tsimar Al-Yani’at, Syarh Riyadh Al-Badiat.
2.      Tanqih Al-Qaul Al-Hatsis, Syarh ‘ala Lubab Al-Hadits.
3.      At-Tausyih (Qut Al-Habib), ‘ala Fath Al-Qarib.
4.      Nur Azh-Zhalam, ‘ala Manzhumah bi ‘Aqidah Al-‘Awwan
5.      Tafsir Al-Munir li Mu’allim At-Tanzil.
6.      Madarij Ash-Shu’ud, ‘ala Maulid An-Nabawi.
7.      Fath Al-Majid, Durar Al-Farid fi At-Tauhid.
8.      Fath Ash-Shamad, ‘ala Maulid An-Nabawi.
9.  Nihayah Az-Zain, ‘ala Qurrah Al-‘Ain.
10.  Sulam Al-Fhudala’, ‘ala Manzhumah Al-Adzkiya’.
11.  Muraqi Al-‘Ubudiyyah, Al-Hidayah Al-Bidayah.
12.  Sulam Al-Munajat, ‘ala Safinah Ash-Shalah.
13.  Nasha’ih Al-‘Ibad, ‘ala Al-Munbihah ‘ala Al-Isti’dadli Yaum Al-Ma’ad.
14.  Al-‘Aqd As-Samin, ‘ala Manzhumah As-Sittin.
15.  Bahjah Al-Wasa’il, ‘ala Ar-Risalah Al-Jami’ah baina Al-Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh wa At-Tashawuf.
16.  Targhib Al-Mustaqin, fi Maulid Sayyid Al-Awwalin.
17.  Tijam Ad-Durar.
18.  Fath Al-Mujib, fi Ilm Al-Manasik.
19.  Mirqah Shu’ud At-Tashdiq, ‘ala Sulam Ar-Taufiq.
20.  Kasyifah Asy-Syaja’, fi Safinah An-Naja’.
21.  Qami’ At-Tughyan, ala’ Manzhumah Syu’ab Al-Iman.
22.  Al-Futuhat Al-Madaniyyah, ‘ala Syu’ab Al-Imaniyyah.
23.  ‘Uqud Al-Lujain fi Bayan Huquq Az-Zaujain.
24.  H Al-Fath Al-Ghafir Al-Khatiyah ‘ala Nadzm Al-Jurumiyah.
25.  Qathr Al-Ghais, ‘ala Mas’alah Abu Lais.
26.  Al-Fushus Al-Yaqutiyyah, ‘ala Raudhah Al-Makiyyah fi Ashbab Tashrifiyah.
27.  Riyadh Al-Fauliyyah.
28.  Suluk Al-Jaddah, ‘ala Risalah Al-Muhimmah bi Lam’ah Mafadah fi Bayan Al-Jum’ah wa Al-Mu’addah.
29.  An-Nahjah Al-Jayyidah li Hal Naqawat Al-Aqidah.
30.  Hilyah Ash-Syibhan, ‘ala Fath Ar-Rahman.
31.  Mishbah Adh-Dhulam, ;ala Al-Hikmah.
32.  Dzari’at Al-Yaqin, ‘ala Umm Al-Barahain.
33.  Al-Ibriz Ad-Dani, fi Maulid Sayyidina Muhmmad Al-Adnan.
34.  Bughyah Al-Anam,’ala Maulid Sayyid Al-Anam.
35.  Ad-Durar Al-Bahiyyah fi Syarh Al-Khasha’is An-Nabawiyyah.
36.  Kasyf Al-Maruthiyyah ‘an Sattari Al-Jurumiyyah.
37.  Lubab Al-Bayan, fi ‘Ilm Al-Balaghah.
38.  Syarh ‘ala Manzumat Sya ‘an Sattari Al-Jurumiyyah.
39.  Fath Al-‘Arifin.
40.  Syarh Al-Burdah.
41.  Ar-Risalah Al-Jami’ah baina Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh wa At-Tsawuf.



c.       Pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi Al-Batani
           Menurut Hurgronje, Al-Batani tidak mengajarkan atau melarang murid- muridnya untuk mengikuti tarekat. Meskipun bersikap netral, nawawi selalu mengaku sebagai pengikut Syaikh Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyyah. Dalam karyanya yang bertema tasawuf, tampak jelas bahwa ia menjadikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai guru.
           Nawawi adalah penganut tasawuf Al-Ghazali, ia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu Qasim Al-Junaidi. Baginya ia adalah pangeran tasawuf dalam arti teoritis dan praktis. Gaya hidup sufi yang sederhana tanpa menentang kehidupan dunia merupakan ciri khas ajaran ini.
           Syaikh Nawawi memperkenalkan kepada murid-muridnya sejumlah karya yang memiliki etika yang lebih besar dari pada unsur-unsur mistisnya.
           Pengaruh Al-Batani mengajarkan ilmu tasawuf di kalangan masyarakat Indonesia sangatlah besar. Buktinya adalah ketika ia menjadi murid pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, dan juga ketika menjadi guru Hijaz melalui ajaran-ajaran aktualnya dalam masyarakat, dan melalui karya-karyanya yang dipublikasikan, telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan tasawuf dikalangan masyarakat jawa.


           
             
          
          

 
          
                                 
           
 
           
           

 BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Islam di Indonesia sampai sekarang masih di liputi dengan perilaku sufistik dan kegemaran terhadap hal-hal yang keramat. Tarekat yang munculpun beragam, tidak hanya bercorak Islam tetapi juga bercorak sintretisme. Sementara itu melalui sejarah, kita tahu bahwa ada sejumlah kaum reformis yang berusaha membersikan Islam dari unsur sufistik dan magis. Beberapa dari mereka ada yang berhasil. Sehubungan dengan itu kita melihat bahwa pada awal perkembangan Islam kecenderungan mistik lebih kuat. Namun, setelah itu muncul pendekatan fiqh yang menggatikan ke cendrungan mistik.
          Tasawuf yang berkembang di Indonesia di dominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalaupun ada penganut aliran falsafi pengaruhnya tidak begitu luas, bahkan aliran ini mendapat perlawanan dari penikut Sunni. Oleh karena itu Hamka menulis bahwa tasawuf di indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia diantaranya adalah: Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Abd Shamad Al-Palimbani, Yusuf Al-Makasari, Nawawi Al-Bantani, dan Hamka.











DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012
Anwar, Rosihon, Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Anwar, Rosihon, Ahlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf Ulama, sufi, dan pejuang, Jakarta: Yayasan Obor, 1994
Mulyani, Sri, Tasawuf Nusantara,Jakarta: Kencana, 2006
Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia, TTp, 2009
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-batani.


 





[1] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 324.
[2] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 241.
[3] Ibid. Hlm. 242.
[4] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 327.

[5] Rosihon Anwar, Ahlak Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 340.
[6] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 244.
[7] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 335.
[8] Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara,(Jakarta: Kencana, 2006) hlm.75
[9] Ibid
[10] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (TTp, 2009) hal 77
[11] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 339.
[12] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 249.
[13] Ibd, hlm. 255
[14] Ibid, hlm. 262.
[15] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 350.
[16] Abu Hamid, syaikh Yusuf Ulama, sufi, dan pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), hlm 173.
[17] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 269.
[18] Ibid, hlm. 270-271.
[19] Samsul Munir amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 375.
[20] Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 266.[21] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-batani.
 

Sample Text

 
Blogger Templates